November 17, 2013

Pembinaan IKM FMIPA UI: Membangun Indonesia!


oleh Haniyya 1106011114 IKM Aktif 2011

Musim Pemilihan Raya (Pemira) Ikatan Keluarga Mahasiswa (IKM) UI baru saja dimulai pekan ini. Begitu pula dengan Pemira di tiap-tiap fakultas termasuk MIPA. Pemilihan Raya identik dengan kaderisasi lembaga, momen munculnya nama serta wajah baru yang ikut mengisi daftar kontributor pembangun IKM FMIPA UI baik di bidang eksekutif, yudikatif, dan legislatif, baik di tingkat fakultas maupun departemen. Isu kaderisasi tersebut bersifat sangat penting dan vital sehingga harus dimiliki oleh semua lembaga termasuk lembaga legislatif seperti Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM). Mengapa? Karena sebuah lembaga perlu penggerak, sebuah lembaga perlu orang-orang yang bekerja secara profesional sehingga lembaga tersebut dapat terus menjadi wadah mahasiswa untuk menebar manfaat serta kebaikan kepada masyarakat. Bukankah pengabdian masyarakat adalah salah satu butir dari tridharma perguruan tinggi?
Faktanya, akhir-akhir ini sulit untuk mencari kader-kader lembaga kemahasiswaan yang memiliki profesionalitas serta kapabilitas tinggi. Bahkan, lebih buruk lagi, untuk sekadar mengisi kekosongan di jajaran pengurus saja sulit. Hal tersebut tidak hanya ditemukan di tingkat departemen maupun fakultas MIPA saja, tetapi juga di tingkat UI secara keseluruhan. Bukan karena jumlah mahasiswa UI yang semakin sedikit setiap tahun akademik baru, namun karena tingkat kepedulian mahasiswa terhadap isu-isu kemasyarakatan (meliputi pendidikan, sosial, politik, dll) yang semakin menurun. Hal tersebut diperparah dengan pemadatan sistem akademik yang diberlakukan pada skala nasional.
Meskipun begitu,tersendatnya laju kaderisasi lembaga kemahasiswaan sejatinya dapat diatasi apabila pembinaan IKM FMIPA UI berjalan dengan baik, mulai dari pembinaan tingkat awal (Prosedur Penerimaan Anggota Aktif) hingga tingkat akhir. Melalui pembinaan, nilai-nilai kebangsaan, kepedulian terhadap masalah-masalah bangsa, serta kesadaran terhadap tiga fungsi utama mahasiswa dapat ditanamkan sehingga dapat menghasilkan mahasiswa-mahasiswa yang dengan ringan hati tergerak untuk ikut berkontribusi terhadap masyarakat.
Pembinaan sejatinya adalah hal yang sama dengan pendidikan. Melalui pembinaan, nilai-nilai luhur pengabdian ditanamkan sehingga diharapkan seluruh individu yang masuk ke dalam keanggotaan IKM FMIPA UI memiliki pemahaman bersama yang bersifat universal, tidak parsial. Pembinaan dilakukan sebagai bagian dari roda pergerakan lembaga mahasiswa untuk melahirkan kader-kader yang mengenal hakikat perjuangannya serta medan juangnya dengan baik sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah terbentuknya IKM FMIPA UI yang bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Disadari atau tidak, banyak mahasiswa MIPA yang kurang menyadari pentingnya pembinaan dan kaderisasi, sebagian justru tidak tahu untuk apa kedua hal tersebut dijalankan. Hal itu mungkin terjadi akibat menurunnya kualitas penanaman nilai-nilai awal pada saat rangkaian kegiatan PPAA yang diperuntukkan untuk mahasiswa baru. Belum ada keberlangsungan transfer nilai dari mulai Pengenalan Sistem Akademik Fakultas (PSAF) sampai dengan Orientasi Keagamaan dan lain-lain. Semuanya masih terkesan berjalan sendiri-sendiri dan membawa nilai masing-masing departemen saja. Didasarkan oleh realita tersebut, BPM FMIPA UI menginisiasi koordinasi semua lembaga kemahasiswaan untuk dapat bersinergi dalam sepuluh bidang Garis-Garis Besar Arah Kegiatan (GBAK) lembaga kemahasiswaan FMIPA UI. Di antara kesepuluh bidang tersebut, bidang pembinaan dan kaderisasi merupakan salah satu bidang yang mendapat perhatian lebih.
Sejak tahun 2013, IKM FMIPA UI memiliki tim pembinaan yang pembentukannya diinisiasi oleh BPM FMIPA UI sebagai lembaga penaung tertinggi dalam struktur IKM FMIPA UI. Tim tersebut bertanggung jawab untuk sinergisasi pembinaan tingkat I (untuk mahasiswa baru), tingkat II, tingkat III, serta tingkat IV (atau tingkat akhir). Menurut Surat Keputusan BPM FMIPA UI nomor 08/TAP/BPM FMIPA UI/IV/13 tentang Tim Pembinaan MIPA, tugas tim pembinaan adalah sebagai berikut, yaitu 1) Menyusun rancangan Pedoman Pembinaan Mahasiswa FMIPA UI, serta 2) mengajukan rancangan ketetapan tentang Pedoman Pembinaan Mahasiswa (PPM) ke BPM. Selain itu, Tim Pembinaan MIPA memiliki wewenang sebagai berikut, yaitu membentuk Tim Koordinasi yang bertugas untuk mengarahkan dan mengawasi kinerja tim pelaksana kegiatan pembinaan dan kaderisasi mahasiswa FMIPA UI.
Tim Pembinaan MIPA mengatur merancang Pedoman Pembinaan Mahasiswa (Ketetapan BPM FMIPA UI nomor 10/TAP/BPM FMIPA UI/IV/13) yang melahirkan tiga belas nilai pembinaan yang meliputi 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) akademik dan Profesi; 3) Pengembangan Diri; 4) Wawasan Berpikir Kebangsaan; 5) Pengabdian; 6) Interaksi; 7) Budaya Ilmiah; 8) Paham dan Peduli; 9) Profesional; 10) Loyalitas dan Kebanggaan; 11) Kepemimpinan; 12) Nasionalisme; serta 13) Kemahasiswaan. Ketigabelas nilai tersebut merupakan dasar untuk menjalankan pembinaan dan kaderisasi FMIPA UI. Selain itu, Tim Pembinaan juga bertanggung jawab untuk mengkoordinasi pelaksanaan pembinaan IKM, seperti PSAF, Pengenalan Sistem Akademik Departemen (PSAD), Orientasi Keagaaman, MIPA Leaders Academy, dan lain-lain.
Meskipun begitu, perjuangan untuk mencetak mahasiswa FMIPA UI yang menjunjung tinggi asas profesionalisme masih panjang. Pembentukan Tim Pembinaan MIPA baru merupakan langkah awal dari perjalanan pembinaan dan kaderisasi IKM FMIPA UI yang masih panjang. Sejatinya, Tim Pembinaan tersebut harus dijaga dan diperbaiki kinerjanya sehingga performa pembinaan dan kaderisasi menjadi lebih baik. Dibutuhkan penjagaan yang berkelanjutan dalam hal pembinaan tersebut sehingga ke depannya lembaga kemahasiswaan di MIPA dapat lebih menunjukkan taringnya untuk menebarkan manfaat dan menjalankan peran pengabdian secara maksimal.
Kontribusi mahasiswa terhadap IKM FMIPA UI dan Indonesia sebetulnya tidak terbatas hanya dengan mengikuti lembaga kemahasiswaan atau berorganisasi saja, akan tetapi dalam hal akademik mahasiswa FMIPA UI juga harus memiliki kualitas profesionalisme yang tinggi sebagai calon ilmuwan Indonesia. Sehingga oleh karena itu, pembinaan dan kaderisasi IKM FMIPA UI yang dikoordinasi oleh Tim Pembinaan MIPA tidak hanya di bidang suksesi lembaga kemahasiswaan saja akan tetapi juga di bidang lain seperti kelimuan maupun seni dan olahraga.
Pembinaan dan kaderisasi sejatinya sama dengan pendidikan. Seperti halnya memajukan Indonesia, memajukan IKM FMIPA UI harus dimulai dengan kemajuan di bidang pembinaan dan kaderisasi. Pendidikan dan pembinaan adalah tombak kemajuan bangsa. Pendidikan adalah alat membangun bangsa. Membangun IKM FMIPA UI! Memajukan bangsa Indonesia!

Referensi
AD IKM FMIPA UI 2013
TAP BPM FMIPA UI nomor 08/TAP/BPM FMIPA UI/IV/13
TAP BPM FMIPA UI nomor 10/TAP/BPM FMIPA UI/IV/13

November 06, 2013

SEPERTI FILSUF


Sekarang, aku ingin bercerita tentang Amri Mushlih. Entah ya? Jujur saja aku belum mampu jadi wanita shalihah yang menjaga jarak dengan laki-laki. Aku pribadi membagi makhluk Mars itu menjadi dua kelompok: cowok dan ikhwan. Oke, secara bahas dua kata itu sama-sama diperuntukkan untuk makhluk yang memiliki kromosom XY. Tapi di kamusku, cowok adalah sebutan untuk mereka yang masih hanif soal agama, sementara ikhwan untuk mereka yang kuanggap seharusnya lebih mengerti tentang hubungan lawan jenis dalam Islam. Beberapa orang mungkin menganggapku abu-abu, parsial, dan lain-lain. Tapi bagiku, ini fleksibilitas: kau tidak akan pernah bisa memperlakukan orang dengan rata, kau harus lihat seberapa jauh pemahamannya sebelum kau mengambil sikapmu atasnya. Seperti guru yang mendidik muridnya. Masing-masing anak punya pemahaman yang berbeda, akan salah ketika guru tersebut menerapkan hal yang sama dalam memperlakukannya. Itu prinsipku.

Oh oke, out of topic again. Sebenarnya bukan itu yang mau kubahas.

Aku suka berpikir asosiasi, membandingkan teori yang satu dengan yang lain. Klasik dengan modern. Fundamental dengan kontemporer. Dan kurasa, di antara sekian banyak teman-temanku, Amri Mushlih adalah salah satu orang yang punya frekuensi sama denganku sehingga pikiran kami cukup sering terkoneksi.

Di pertambahan umurku yang kedelapan belas tahun, ia memberiku buku. Dunia Sophie judulya. Buku tentang filsafat. Oh yeah~ aku akui, selama ini aku tidak pernah tertarik dengan hal-hal yang berbau sosial. Perlu digarisbawahi, pikiranku dulu mungkin masih sangat sempit sehingga otakku secara otomatis langsung menghubungkan kata filsafat dengan ilmu sosial. Dan aku salah besar, pada dasarnya sains modern juga berkembang karena para filsuf begitu sibuk mempertanyakan hal-hal dasar kehidupan.
Aku menolaknya sebagai hadiah dan ia hanya bilang, “Terserah kamu buku ini mau kamu apakan, disumbangkan ke perpustakaan boleh, dikasih ke orang lain juga boleh. Asal kamu janji untuk membacanya hingga dua atau tiga kali. Aku ingin kamu paham tentang pesan yang disampaikan.”

Oke, baru kali ini ada orang yang tidak tersinggung hadiahnya kutolak.

Baru kurang-lebih seratus lima puluh halaman kuhabiskan sepanjang hari ini dan ketika Amri Mushlih meneleponku pada jam sepuluh malam ini seperti biasanya, aku sudah bersemangat berbicara tentang filsafat.
Hal yang paling kusuka sejauh ini adalah bahwa seorang filsuf, bukanlah orang yang merasa bahwa ia sudah tahu segalanya sehingga ia mengajarkan orang lain dengan memberikan asumsi bahwa segala yang ia katakan adalah benar adanya. Tetapi filsuf, adalah seseorang yang tahu dan sadar akan ketidaktahuannya dan ia begitu memikirkan ketidakberdayaannya tersebut. Seorang filsuf, bukanlah mereka yang secara berlebihan mempertahankan pendapatnya, tetapi ia adalah orang yang selalu belajar dari pendapat dan sudut pandang manusia lain. Secara teori seharusnya begitu, tetapi praktikalnya manusia sering sekali menyimpang dari asas definisi.

Wow.

And you know what? Sadarkah kita bahwa gaya hidup serta berpikir orang Indonesia sudah jauh dari itu? Sehingga pendidikan kita lebih banyak bersifat satu arah dalam praktikal, bukannya dua arah yang bahkan Nabi Muhammad pun juga mengajarkan. Sadarkah bahwa pendidikan Indonesia berorientasi pada nominal bukannya nilai-nilai kebenaran yang seharusnya dipelajari dengan akal, diyakini dengan hati, serta diamalkan ke dalam setiap sendi kehidupan?
Bahkan orang yang mengakui dirinya taat kepada Allahpun, belum tentu memahami ini. Banyak dari kita yang menjalankan agama hanya karena memang peraturan agama mewajibkan seperti itu. Hanya karena orang-orang lain juga melakukan itu. Oke, kuberikan contoh. Mereka yang membayar zakat, hanya karena zakat itu merupakan rukun Islam keempat, sementara ia tidak mengerti alasan Allah menyuruh berzakat dan mensucikan harta akan lebih rendah kualitas imannya dibanding mereka yang membayar zakat karena mereka sadar betul tujuan Allah menyuruh hambaNya melakukan itu.
Sama seperti kita yang Islam hanya karena orang tua kita juga Islam. Akan berbeda dengan mereka yang terlebih dahulu susah payah mencari kebenaran dengan akal sehatnya untuk meyakini Allah serta Muhammad sebagai RasulNya. Bahkan, Allah pun menyuruh kita untuk senantiasa berpikir kritis sehingga jalan kebenaran akan berpendar terang benderang di hadapan kita.
Jika kita masih punya pikiran hanya menerima tanpa benar-benar paham dan meyakini adaya .. Lalu, apa bedanya dengan kawanan domba yang digiring begitu saja tanpa tahu arah ke mana mereka dibawa?
Sejatinya urusan agamapun seperti itu. Agama memang urusan keyakinan dan iman, tapi bukankah ia juga butuh landasan akal serta pikiran untuk menguatkan keyakinan tersebut? Meskipun memang pada akhirnya, ada hal-hal krusial tertentu yang akal manusia tidak dapat menjamahnya selain dengan keimanan tanpa syarat.

Dan aku cuma tersenyum saat Amri Mushlih bilang, “Cuma itu (pengetahuan dan pembukaan wawasan tentang filsafat) yang bisa aku kasih sebagai hadiah ulang tahunmu.”

Dan, aku suka sekali.

SEPI


Aku baru saja membaca Kokologi, buku karangan orang Jepang yang berisi permainan-permainan kehidupan. Setiap jawaban dapat menggambarkan karakter serta pandangan-pandangan hidup yang kita punya.
Aku suka sekali bacaan semacam ini.

Jadi, aku dan ketiga teman kampusku menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu di sela-sela mengerjakan laporan praktikum Mikrobiologi. Lantai dasar departemenku lenggang, dan tampaknya memang cuma kami berempat yang berisik.
Pertanyaannya adalah:
Bayangkan bahwa kamu kembali ke masa lalu, saat kepolosan masih menghiasi wajahmu .. Saat kau tidak peduli waktu terus bermain sampai lelah, saat alam masih bersahabat .. Saat setiap pagi matahari bersinar lembut menyambut pagimu dan awan menjadi pelindung saat berlarian di lapangan. Suatu hari, kau ingin makan permen. Untuk itu, kau dengan langkah riang bersenandung mampir sebentar ke sebuah toko permen di ujung jalan. Ada banyak permen warna-warni di sana, berbagai jenis permen: lollipop, permen karet, dan lain-lain. Di antara semua permen itu, permen mana yang kaupilih? Dalam kasusku, aku menjawab: permen karet berwarna-warni yang berbentuk bulat dalam sebuah toples besar. Alasannya? Karena aku suka warnanya.
Sambil menunggu sang penjaga toko mengambilkan pesananmu, kaulihat ada sekelompok anak di luar toko yang sepertinya akan masuk. Berapa jumlah anak yang masuk ke dalam toko? Aku menjawab: lima.
Ternyata penjaga toko berbaik hati memberimu permen bonus. Berapa jumlah permen bonus yang diberikan padamu? Satu? Dua? Jawabanku: satu.
Kemudian ternyata, skenario permainan ini menyatakan bahwa kau membeli permen-permen itu sebagai hadiah untuk seseorang, siapakah dia? Sebagian orang mungkin menjawab: sahabat, adik, teman spesial .. Tapi aku menjawab: Aku beli permen ini sejak awal untuk diriku, untuk diriku! Bukan orang lain, jadi aku tidak akan memberikannya pada siapapun.
Nah, itulah jawabanku.
Hal yang paling mengejutkan adalah pernyataan dari analisis terhadap semua jawabanku yang menunjukkan betapa aku amat sangat tidak tergantung pada orang lain. Itu, sungguh, sangat benar. Aku sampai geleng-geleng kepala.

“Anda lebih suka kehidupan yang memiliki sedikit pegangan, meminta sedikit dari isi dunia dan mengharapkan hal yang sama sebagai balasannya. Pendekatan kesendirian itu berarti Anda mungkin tidak harus berbagi dengan orang lain, tapi itu juga berarti Anda tidak akan pernah memiliki orang lain untuk bisa saling berbagi.”

Tahu tidak? Kata-kata itu benar-benar menusukku. Seperti ada angin musim dingin yang kemudian masuk ke relung-relung jiwa. Mengoyak benteng pertahanan. Mempertegas gaung kekosongan. Memperjelas keberadaan sepi. Aku, untuk kesekian ratus kalinya merasa sendirian.
Di satu sisi, aku takut untuk merasakan perasaan memiliki orang lain. Di sisi lain, aku takut jika aku memang benar-benar sendirian.
Seringnya, aku menikmati itu. Bahkan keinginanku sejak kecil adalah tinggal di suatu tempat terpencil yang dipeluk oleh kedamaian alam. Aku masih punya harapan untuk bisa menerima kebisingan dunia, tapi aku semakin bertanya-tanya apakah kebisingan itu benar-benar menerima diamku.

Dan kurasa jawabannya tidak, karena nyatanya, aku tetap merasa berbeda.
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa mereka sudah dekat denganku. Tapi, tidak, sesungguhnya. Aku punya banyak rahasia dan perasaan yang kusimpan rapat-rapat sampai berdebu, namun tidak pernah usang. Dan tidak ada satu orangpun yang benar-benar aku percaya untuk melihat aku sebenarnya.

Terkait dengan itu, aku jadi tidak yakin apakah kelak aku punya pendamping hidup yang menerima aku seutuhnya. Jika memang suatu saat nanti ternyata Tuhan berbaik hati mengirimkan, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan: haruskah aku membawa diriku keluar? Atau aku yang membiarkan ia masuk ke dalam? Ke dalam dunia di mana cuma ada aku dan orang itu. Terbingkai oleh cinta yang damai. Terasing dari keramaian.

September 07, 2013

TENTANG G


Bogor, 7 September 8:58 PM
TENTANG G
Dan akhirnya, aku baru merasa ada arti lebih atas adanya aku di dunia.


Ia dari dulu selalu jadi orang pertama yang bertanya kenapa aku menangis di pojok kelas. Selalu juga jadi orang pertama yang berusaha mengembangkan senyumku.
Ia tidak pernah beralasan untuk berbuat itu, bukan karena ingin memintaku jadi 'seseorang' untuknya. Bukan sekadar karena ingin mendekatiku. Bukan karena ingin dapat 'perasaan'ku ..
(Toh dia sudah dapat 'perasaan' gadis lain jauh sebelum dekat denganku. Dan tetap tidak mengubah 'perasaan'nya setelah ia mengenalku juga)
Entah ya, tapi mungkin ini bisa dibilang ketulusan.

Hanya saja tiba-tiba keadaannya berubah dan kini justru ia yang meminta, berbulan-bulan lalu sebelum ia benar-benar berhenti bicara. Lumpuh. Dan gersang jiwa.
Aku masih ingat, ia bilang, "Han, gue cuma mau lo yang ada di samping gue pas gue sakit. Cuma lo yang bisa."

Nyatanya, aku mungkin adalah orang terakhir yang menjenguknya. Orang terakhir yang tahu kabarnya ..
Pesan yang kudapat kemarin pagi itu seakan menegaskan kalau ia masih menungguku. Kalau kehadiranku ternyata dinanti-nantikan. Kalau ia, meskipun sudah tidak bisa lagi mengucap kata-kata, mengharap sesuatu dariku dibalik tatapan kosongnya.

Hatiku penuh cabikan rasa bersalah. Luka-luka itu di saat bersamaan ditetesi rasa haru. Seseorang membutuhkanku, seseorang-yang sudah tidak ingat hampir sebagian besar teman-temannya, mungkin masih mengingatku. Tapi .. mirisnya, itu semakin membuat perih gurat-gurat itu.

Kalau besok aku bertemu G, aku bahkan tidak tahu harus bilang apa.

Juli 02, 2013

MENJADI LEBIH CANTIK DARI BIDADARI SURGA



Berbicara tentang wanita shalihah, aku masih jauh dari itu. Dan itu membuatku seringkali begitu malu. Persoalan hijab, yang secara fisik mudah dikendalikan, saja belum benar, apalagi hati. Terlalu abstrak, terlalu sulit untuk digenggam dan dikendalikan. Tapi, aku, hei tidak cukupkah air mata ini jadi saksi? Aku ingin jadi perhiasan dunia. Yang cemerlang, yang berharga untuk disimpan.
“Sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.”

Tidak hanya itu, selain keindahan sosoknya digambarkan lebih indah dari jenis perhiasan dunia apapun, wanita shalihah juga memiliki kedudukan yang lebih utama dari bidadari surga. Siapa sih bidadari surga itu? Bidadari surga adalah satu diantara sekian banyak kenikmatan yang dijanjikan Allah bagi hamba-hamba yang berjuang di jalanNya.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang membatasi pandangan, yang tidak pernah disentuh oleh manusia maupun jin sebelumnya.” – QS. Ar-Rahmaan: 55—56
“Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) secara langsung, lalu Kami jadikan mereka perawan-perawan, yang penuh cinta (dan) sebaya umurnya, untuk golongan kanan,” – Al-Waaqi’ah: 35—38

Dua ayat di atas adalah satu di antara sekian banyak ayat Qur’an yang menggambarkan balasan bagi orang-orang yang beriman, berbuat kebajikan, dan memiliki sifat takwa. Ketika seorang muslim masuk surga, maka disediakan baginya bidadari-bidadari yang cantik dan bermata indah sebagai pasangannya. Akan tetapi jika ia memiliki istri yang shalihah, yang menjaga izzah diri dan agamanya, maka istrinya itulah yang akan menjadi pasangannya. Subhanallah, sehingga patutlah ketika dua insan yang merajut cinta untuk mengharap ridha Allah kemudian saling berdoa agar pasangannya di dunia juga menjadi pasangannya di akhirat.
Hal tersebut menegaskan bahwa seorang wanita shalihah, istri yang shalihah, lebih utama, lebih cantik, lebih layak menjadi pasangan seorang laki-laki shalih dibanding ribuan bidadari surga. Subhanallah.
Ada beberapa aspek yang membuat wanita shalihah berbeda dari wanita-wanita lain di dunia. Aspek yang pertama adalah keimanan dan ibadah. Tentunya, seorang wanita shalihah memiliki tingkat keimanan yang lebih tinggi dan keimanan itu akan tampak dari caranya beribadah, akhlaknya, hatinya, pemahamannya tentang kehidupan, hingga fisiknya. Ada banyak buku yang menggambarkan ciri-ciri wanita shalihah. Dan saya pribadi ingin memulainya dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu seperti hal-hal di bawah ini.
1. Ibadah wanita shalihah.
Pastinya, ia bukanlah sembarang wanita. Ia adalah wanita yang menjaga wudhunya, menyegerakan ibadah wajibnya, dan menghiasi kesehariannya dengan ibadah-ibadah sunnah. Seluruh aktivitasnya diawali dengan bismillahirrahmaanirrahiim dan diakhiri dengan alhamdulillah, suatu perkataan yang mencerminkan niat melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh karena Allah.
2. Akhlak wanita shalihah.
Perkataannya terjaga, tidak berkata kasar dan terhindar dari hal-hal sia-sia. Memuliakan orang lain, khususnya saudara seiman, dengan ucapan salam ketika bertemu, menjabat erat untuk menggugurkan dosa-dosa, dan memberikan sedekah senyum bagi siapa saja yang bertemu dengannya.
3. Hati wanita shalihah.
Mendahulukan husnudzan kepada orang lain. Hanya mengharap cinta dan keridhaan Allah, lebih dari mengharap cinta laki-laki shalih manapun. Dan hal tersebut akan tercermin dari caranya menundukkan pandangan ghadhul bashar, tidak berkhalwat atau berdua-duaan dengan lawan jenis, menjaga jarak, serta tidak juga memberikan harapan bagi laki-laki yang menyukainya kecuali jika laki-laki tersebut melamarnya. Dan sudah pasti, tidak pacaran. Baik secara status, maupun secara perbuatan. Karena banyak lho, muslimah yang terjebak pacaran tanpa status.
4. Pemahaman wanita shalihah tentang kehidupan.
Satu hal, sederhana saja, seorang wanita shalihah tidak pernah merasa dirinya shalihah. Ia akan selalu merasa kurang cukup sehingga ia tidak pernah berhenti belajar dan mendewasa, menyarikan hikmah-hikmah dari setiap kejadian, pemahaman akan kehidupan. Hal tersebut dilakukannya semata-mata karena Allah untuk meningkatkan kualitas diri sebagai hambaNya. Keinginan meningkatkan kualitas diri itu juga akan tercermin dari kebiasaannya yang selalu bermuhasabah, introspeksi diri di penghujung hari, sebelum memulai hari yang baru. Atau bahkan di setiap langkahnya menjalani hari. Wanita shalihah juga merupakan sosok muslimah yang mampu mandiri di kehidupannya, tidak bergantung pada orang lain termasuk orang tua. Percayalah, bergantung kepada selain Allah biasanya dapat menghambat orang tersebut untuk mendewasa dan belajar banyak hal dari kehidupan.
5. Fisik wanita shalihah.
Ya, keimanannya yang tinggi kepada Allah dapat dilihat dari fisiknya yang terbalut hijab. Persoalan hijab bukanlah pilihan seperti yang didengung-dengungkan kaum liberalis dalam perkara hak asasi manusianya. Bukan sama sekali. Itu adalah persoalan keimanan, seberapa taatnya seorang muslimah mampu menundukkan nafsu diri untuk mengerjakan apa yang diperintahkan Allah.

“Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya ..” – QS. An-Nuur: 31

Meskipun hijab adalah identitas muslimah, namun, tidak semua yang berhijab bisa disebut sebagai wanita shalihah. Ada syarat-syarat tertentu yang menentukan kualitasnya, maka perhatikanlah cara mereka berhijab. Yang pertama, hijabnya memenuhi syari’at, yaitu jilbabnya menutupi kepala (rambut) dan dada, tidak transparan, tidak memerlihatkan bentuk tubuh, serta tidak berwarna mencolok. Yang kedua, perhatikan bagaimana kebersihan dan kerapian hijabnya. Kalau masih berantakan, kalau warna baju dan roknya masih tidak serasi, itu perlu dipertanyakan. Apalagi, jika tercium bau-bau yang menimbulkan perasaan aneh, baik bau badan yang mencerminkan kurangnya kebersihan jasmani ataupun harum wewangian yang pemakaiannya berlebihan.
Hijb wanita shalihah, sederhana, tetapi indah saat dipandang. Hijab wanita shalihah, sederhana, menentramkan kala ditatap.
Menjadi wanita yang lebih cantik dari bidadari surga sejatinya memang tidak akan pernah terasa mudah khan? Ada banyak hal dari diri kita yang bahkan masih jauh dari gambaran-gambaran mengenai wanita shalihah. Tapi sejatinya, persoalan shalihah adalah bukan semata-mata apakah kita sudah menjadi shalihah atau siapa yang lebih shalihah, tetapi siapa yang senantiasa memantaskan dirinya untuk menjadi wanita shalihah itulah yang insyaAllah shalihah.
Semoga kita, aku dan kamu dan seluruh muslimah di dunia menjadi salah satu perhiasan dunia yang paling cantik, yang Allah ridhai untuk mengalahkan kemuliaan para bidadari.
Wallahu a’lam bishshawwab.

SURAT CINTA


“There is nothing better for two who love each other than marriage.”



Allah, Kau Maha Tahu hambaMu ini dhaif. Maka kuatkanlah, hingga tiba saatnya.
Allah, Kau Maha Tahu isi hati. Maka, jagalah. Jagalah, jika pilihan hatiku benar.
Jagalah, jika pilihan hatinya benar. Namun jika tidak, jauhkanlah.
Allah, aku tidak tahu apakah ini benar .. Tetapi, aku mengaguminya.
Dan porsinya-aku harap, tidak melebihi porsi cinta padaMu.
Jika memang aku adalah untuknya dan dia adalah untukku, maka bimbinglah.
Terangi jalannya menuju kebaikan,
Dengan kebijakan, kebajikan, ketegaran,
seperti Kau membimbingku.
Allah, Engkau sungguh adalah Maha Pengampun dan Pemberi Rahmat.
Maka ampunilah, saat-saat kami ingkar, saat-saat kami dusta,
saat-saat kami lupa kepadaMu.
Allah, Engkau sungguh adalah Maha Penyayang, Maha Pembolak-balik hati.
Maka sisipkanlah rasa cinta di hatiku dan hatinya
beserta cinta atasMu.
Maka tundukkanlah hatiku dan hatinya pada satu cinta untukMu.

Itu doaku. Tadinya. Kini agak berbeda,

Allah, Kau Maha Tahu hambaMu ini dhaif. Maka kuatkanlah, hingga tiba saatnya aku layak menjalin hubungan yang halal karenaMu.
Allah, Kau Yang Maha Merajai hati, Yang Maha Kuasa membolak-balik hati,
Maka bimbinglah, bimbinglah aku mencintaiMu.
Terangilah hatiku dengan cahayaMu yang Maha Terang.
Luruhkanlah noda-noda lain, dosa-dosa dari perbuatan-perbuatan menyekutukan cinta hanya kepadaMu.
Hapuskanlah nama-nama lain, selain namaMu.
Penuhilah hatiku dengan rasa penghambaan, mengabdi hanya kepadaMu dan agamaMu.
Penuhilah hatiku dengan rasa penghambaan, mencintai RasulMu dan mengikuti apa-apa yang menjadi teladan dari sosoknya.
Penuhilah hatiku dengan rasa penghambaan, menjadi agen Islam yang baik, yang bisa menunjukkan pada dunia keindahan tauhid kepadaMu.
Penuhilah hatiku dengan rasa pengabdian, berbakti penuh pada orang tua yang mencintaiku setulus jiwa mereka, yang tanpa lelah mendidikku sedari kecil telah mengenalkan aku pada asmaMu.
Allah, sungguh Engkau adalah Yang Maha Penakluk hati, juga Yang Maha Kuasa mempertemukan dua insan dalam jalan menuju ridhaMu.
Engkau adalah Yang Menciptakan makhlukMu berpasang-pasangan.
Engkau adalah juga Yang Maha Memenuhi Janji.
JanjiMu untuk menjadikan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula),
maka bimbinglah aku untuk menjadi wanita shalihah,
wanita yang paling baik untuk laki-laki yang akan menjadi imamku nanti,
bimbinglah aku untuk menjadi wanita yang paling layak untuk laki-laki yang akan menjadi sahabatku dalam mencari keridhaanMu,
bimbinglah aku untuk menjadi wanita yang layak mendapatkan laki-laki yang mampu menjadi pasangan akhiratku,
bimbinglah aku untuk menjadi wanita yang siap mendidik generasi-generasi Islam selanjutnya, yang siap menjadi tempat menyemai benih laki-laki yang kecintaannya padaMu mengalahkan cinta pada sesuatu apapun,
bimbinglah aku untuk melihat, mendengar, mengatakan, melakukan perbuatan yang sesuai dengan kacamataMu,
agar aku bisa mencintai ia yang Kau cintai,
ia yang mencintaiMu,
serta agar ia juga bisa mencintaiku atas dasar kecintaannya padaMu.
Sehingga kelak dengan menjalani hari-hari bersamaku, ia terus-menerus merasakan cintaMu, sehingga kelak hanya dengan memandangku, ketentraman memenuhi jiwanya.
Maka bimbinglah hamba, ya Allah ..
Karena tanpa bimbinganMu, tanpa penerangan dariMu,
hamba adalah makhluk paling lemah yang keberadaannya lebih kecil dari sebuah titik di semesta.
Karena tanpa bimbinganMu, hamba tidak punya daya apapun untuk menyusuri jalan kehidupan.
Karena tanpa bimbinganMu, uluran kasihMu, curahan cintaMu, hamba pasti sudah terjerumus dalam lubang penuh kegelapan tempat manusia yang merugi berkumpul.
Karenanya, ya Allah,
hamba berserah diri padaMu, wahai Rabb Pencipta alam.


Ya, sedikit banyak doaku memang berubah.

AKU RINDU RAMADHAN, LEBIH-LEBIH KALA SEDANG BERSAMA SYA’BAN



Aku rindu Ramadhan.
Cukupkah jika hanya itu bekalmu dalam menyambut Ramadhan? Bulan suci penuh berkah yang padanya Allah turunkan kemuliaan dan rahmat bagi hamba-hamba yang bersungguh-sungguh mencari ridhaNya. Di dalamnya terdapat malam-malam yang penuh keutamaan, yang syahdu, yang tenang, dan damai. Dan di antara malam-malam yang tiga puluh itu, turunlah Qur’an. Kitab rujukan sistem kehidupan seorang muslim, baik kala sulit dan sakit mendera atau saat berlimpah kebahagiaan. Ya, ialah malam nuzulul Qur’an. Padanya Allah menyampaikan firmanNya melalui abdiNya, Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam, Rasul yang tidak bisa baca tulis. Akan tetapi melalui lisannya yang terjaga, Al-Qur’an sampai padamu. Padamu, yang belum tentu, tidak pasti terjamin akan berada di barisan pengikutnya. Padamu, yang masih berusaha tertatih-tatih mencari cahaya Allah beserta keridhaanNya.
Dan di antara tiga puluh malam itu, sepuluh malam di penghujungnya merupakan sepuluh malam penuh keberkahan. Yang salah satunya adalah lailatul qadr, momentum penghambaan diri pada Allah, momentum di mana seluruh urusan untuk setahun ke depan ditentukan oleh Sang Maha Kuasa atas segala urusan. Juga ialah malam di mana ribuan malaikat turun ke bumi dan mengagungkan asmaNya. Sayap-sayap mereka terbentang mendoakan manusia-manusia yang bersungguh-sungguh dalam kebajikan. Adakah kamu menjadi bagian dari manusia beruntung yang doanya diaminkan makhluk Allah yang paling taat?

Aku rindu Ramadhan.
Cukupkah hanya dengan menyatakan perasaan yang memang seharusnya dimiliki seorang muslim? Rindu, ia tidak bermakna apapun kala perbuatan tangan dan kaki hanya diam. Rindu, hanya akan seperti gelas kosong yang dipukul sendok kala ia hanya terbersit di lisan apalagi pikiran. Suaranya nyaring, tapi rapuh dan kemungkinan mudah pecah.
Rindu, seharusnya ia dapat menggetarkan hati pemiliknya. Begitu hebatnya sehingga serta-merta tangan akan sendirinya terbuka untuk merengkuh dan kaki akan sendirinya berlari untuk menyongsong. Dengan segenap daya, usaha untuk tidak begitu saja membiarkan Ramadhan bergulir dan pergi.

Karena apakah? Ketika ia begitu saja pergi dan umat muslim sedunia menyambut kedatangan Syawal yang penuh perayaan secara istiadat, maka merugilah mereka. Merugilah mereka yang lupa kemuliaan Ramadhan, yang lupa bahwa Ramadhan selain merupakan syahrus shaum, juga merupakan syahrul maghfirah dan syahrut tarbiyah. Ya, bulan pengampunan dan pendidikan. Bulan di mana pintu ampunan dibuka seluas-luasnya dan setan dibelenggu. Jadi, jika kamu masih tidak sungguh-sungguh, masih suka lalai, masih suka malas, suka maksiat, setankah yang lepas dari belenggu Allah untuk membisikimu atau jangan-jangan karaktermu sudah menyerupai mereka? Na’udzubillahi min dzaalik.
Sehingga puasamu sebulan itu hanya menyisakan lapar dan dahaga semata. Dan sungguh merugilah manusia, seperti yang Rasul gambarkan melalui sabdanya.
“Banyak orang berpuasa yang tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali lapar. Dan banyak orang shalat malam, tidak mendapat apa-apa dari shalatnya kecuali begadang.”
- HR. Abu Daud dan Ibn Majah
Hadist lain meriwayatkan bahwa Allah tidak membutuhkan dan pastinya tidak akan mengganjar puasa orang-orang yang tidak sungguh-sungguh menahan diri ketika puasa.
“Barangsiapa tidak meninggalkan kata-kata dusta (dalam berpuasa) dan tetap melakukannya, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.”
- HR. Bukhari

Aku rindu Ramadhan.
Ya, rindu. Tapi kerinduan sejatinya harus disandingkan juga dengan kesungguhan mempersiapkan diri untuk menjalani pendidikan dari Rabb Pencipta alam semesta.
Bertemu Ramadhan kiranya bisa diibaratkan seperti saat dua calon mempelai menjalani hari-hari sebelum akad diucapkan dengan segenap jiwa dan raga. Tentunya butuh persiapan bukan? Mulai dari persiapan jiwa dan fisik. Mulai dari penyediaan mahar hingga persiapan resepsi. Matangnya tetek-bengek persiapan adat istiadat itu dapat menjadi parameter kesungguhan dua insan tersebut menghalalkan hubungan cinta di hadapan Allah.
Begitu juga Ramadhan. Dan kesungguhan itu dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. Tiga bulan sebelumnya, saat Rajab, dan saat Sya’ban.
Ya, Sya’ban. Bulan yang paling sering terlalaikan. Bulan yang bisa menjadi momentum persiapan yang akan memenangkan jihad seorang Muslim di Ramadhan, tetapi juga bisa menjadi momentum kefuturan yang melenakan seorang hamba memasuki Ramadhan dengan jiwa dan raga yang lemah. Dua pilihan itu, kamu pilih yang mana? Tidak ada paksaan untuk memilihnya, tapi jika seandainya kamu memilih pilihan pertama, semoga engkau termasuk ke dalam golongan hamba yang Allah ridhai karena kesungguhanmu memeluk bulan seribu bulan.

Aku rindu Ramadhan.
Lalu apa sajakah hal yang perlu disiapkan sebagai amunisi? Atau sebagai perbekalan jika kaum kabilah yang berkata. Apa sajakah? Kini di penghujung Sya’ban dan ketibaan Ramadhan, amunisimu sudah berapa banyak? Fisikmu sudah berapa siap? Kiranya haruslah kuat. Sehingga tidak ada lagi alasan-alasan penyebab letihnya ragamu saat menjalani puasa. Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau saja bisa berperang dan menang saat pertempuran Badr. Karena memang, sungguh demi Allah, Ramadhan adalah juga bulan jihad dan bulan kemenangan.
Lalu bagaimana shalat wajibmu? Masih tertundakah? Jika ya, tidak heran jika Ramadhan nanti engkau masih lalai. Lebih sering engkau laksanakan berjama’ah atau sendiri? Sungguh, bahkan pahala jama’ah yang 27 kali lipat di bulan biasa pun kau remehkan, jangan-jangan nanti kau terbiasa juga meremehkan shalat berjama’ah yang pahalanya dilipatgandakan 70 kali lipat.
Bagaimana dengan sunnahmu? Bagaimana tahajjud? Dhuha? Qabliyah? Ba’diyah?
Rutinkah? Termasuk shaum sunnahmu?
Bagaimana mungkin jika tubuhmu tidak pernah latihan puasa sementara nanti di Ramadhan sebulan penuh harus menjalankannya. Tidak heran jika tubuhmu lemas, letih, lesu, lunglai. Dan jika sudah begitu, tanyakanlah pada dirimu ke mana saja hari-hari berlalu?
Bagaimana bacaan Qur’anmu? Semestinya kata-kata belum lancar, belum bisa, masih terbata-bata bukanlah lagi pantas dijadikan alasan. Lebih dari tiga bulan Allah menyediakan waktu untukmu mempelajari kalamNya. Kemana saja kau selama ini? Tersesat dalam lingkaran kemaksiatan? Begitukah?
Dan bagaimana sedekahmu? Sedekah yang pada Ramadhan Allah mengganjarnya dengan 700 kali lipat lebih dari biasanya. Subhanallah, betapa pemurahnya Rabbmu! Sementara engkau masih saja nyinyir pada yatim dan fakir.

Maka pertanyakanlah! Pertanyakan untuk apa lisanmu berkata:
Aku rindu Ramadhan, lebih-lebih kala bersama Sya’ban.
Karena persoalan kemenangan adalah bagaimana menjadikan apa-apa yang dicintai Allah sebagai suatu kebiasaan.

Juni 24, 2013

Iya kamu, kamu itu pengecut.


Maaf ya, aku harus bilang.
Kalau kamu ..


Iya kamu, kamu itu pengecut.

Bisa berbicara di dunia maya. Tapi ketika diajak berbicara, malah diam seribu basa. Bilang padaku, "Sudahlah, tidak usah dibahas lagi."
Kamu terlalu rapuh atau memang semunafik itu?
Atau mungkin sudah jenuh dengan pembelaanku. Memangnya siapa yang mau membela diri.
Kau suruh aku diam, katamu, "Aku terlalu lelah untuk mengurai dan menjelaskan lagi."
Aku toh memang diam sejak awal. Harusnya kau yang perlu diam.

Pikiranku sudah carut-marut suasananya,
Hei, siapa pula yang mengusik kami? Kami sudah mulai bersantai dan berdamai dengan keadaan.
Tiba-tiba kau meledakkan lagi granat di perbatasan, tempat sekat-sekat itu ada dan memisahkan kita di dua dunia yang semakin jauh jauh jaraknya.
Lalu api-api mesiu itu membangunkanku. Seenaknya kau mengusik kami, suara-suara bergaung di bawah kerasnya tempurung. Seenaknya menggores luka (lagi), kemudian menyuruh kami menangis hening syahdu.

Diam? Kau saja yang diam, jika kau hanya sibuk berceloteh di belakang.



Aku yakin kau sudah tahu,
aku khan sudah bilang. Di pesan singkat pukul sembilan malam itu.

Juni 11, 2013

Abi :')




He's the number one man in our family. The most perfect father Allah sent to my life. Ever.

NUANSA




Dan sebetulnya selain itu, aku juga merindukan masa di mana aku menjadi bagian dari keluarga pergerakan. Sekarang juga masih, tapi nuansanya sedikit berkurang. Atau mungkin juga tidak, hanya saja aku merindukan nuansa Islam itu dari kacamata kekanakanku. Yang sederhana.

Juni 10, 2013

A Night with You, Dad.


Hujan. Gerimis, tapi intensif. Jangan coba-coba keluar tanpa tudung atau payung. Kau bisa sakit.
Hujan, siang ini. Meneduhkan amarah dan angkara yang meluap.

Ada rintik-rintik turun di malam itu. Tapi ia, membasahi jiwaku. Alih-alih tanah merah di depan rumah.
Hujan. Menyemikan kuncup-kuncup kasih dan menyempurnakan rindu.



Aku sejak kecil senang menulis. Abiku bilang, "Itu karena kamu anak Abi," Dulu, aku hanya setengah percaya. Setelah abi bilang begitu, biasanya aku cuma tertawa dan lepas landas berlari entah kemana.
Dulu, aku juga berisik. Wak Rafi'i bilang, "Wak bosan mendengarmu berceloteh tentang segala hal: semuanya ditanyakan."
Ini apa, Wak? Itu apa, Wak? Sesudah dijawab, eh bertanya lagi. Apa itu, Wak?
Dan, aku, aku ini anak paling bandel. Umur tiga tahun sudah dipukul Abi. Katanya, aku cengeng sekali. Lihat orang asing masuk rumah saja, langsung menjerit keras-keras. Padahal yang datang cuma saudara jauh, tapi tangisku sudah seperti anak bayi diculik orang.
Saat umurku tiga tahun, dokter bilang nyawaku tinggal tiga hari. Abi bilang, ia dan Umi sejak itu tidak pernah henti shalat dan berdo'a di tepi pembaringanku. Sambil memandangi wajah gadis kecilnya dipenuhi selang. Melihat aku yang sekarang, dokter bilang, "Anak Bapak ini punya nyawa rangkap dua."
Aku cuma tersipu malu, seraya berdo'a: semoga Allah juga kasih nyawa rangkap tiga.
Dan kalau aku bandel, kalimat itu jadi senjata Abi. Kamu kok bandel sih? Bukannya bersyukur Allah masih mau memberi kesempatan kedua!
Aku juga suka mengamati. Kata Umi, aku punya matanya. Tajam. Menusuk, hampir semua orang bilang begitu. Ditambah lagi, aku memang pendiam dan suka menyendiri. Aku bisa saja berada di pojok ruangan, sibuk bermain lego sambil sesekali mengamati teman-temanku yang berlarian. Bukan dengan tatapan ingin bergabung, tapi dengan tatapan tajam menganalisis keadaan.
Di antara teman-temanku itu, yang semuanya adalah anak dari ammah-ammah kelompok liqa Umi, ada satu orang yang paling dekat. Athifah Hasna Shafiyyah, namanya. Cantik khan? Orangnya juga secantik namanya.
Dulu, selain di liqa Umi kita juga sering ketemu di acara aksi Palestina. Sambil berjalan mengikuti massa di Monas, Abi suka menggendongku di pundaknya. Biar aku bisa melihat orang-orang yang bergerak bersama untuk kemenangan Islam, katanya. Aku sih saat itu cuma bisa tertawa. Senang digendong Abi. Senang dipeluk Abi.
Dulu waktu aku kecil, aku jarang kangen sama Abi.

Tahun-tahun berlalu membuat kenangan kami terbingkai debu. Dan aku yang beranjak remaja, rasa-rasanya semakin mengecewakan.
Sudah berapa kali buat Umi menangis?
Sudah berapa kali menjatuhkan harapan Abi?
Sudah berapa kali?
Aku cuma bisa menangis kala ingat tentang itu.
Dan masa remajaku, aku justru senang bisa jauh sama Abi dan bebas melakukan apapun seinginku.
Aku malu saat Abi peluk, saat Abi cium. Padahal lewat rengkuhannya, ia cuma ingin menyampaikan, "Abi bangga Kak Hany jadi lulusan terbaik."

Tapi, malam itu, aku kangen sama Abi. Kangen sekali.
Penyair-penyair puitis bilang, namanya rindu. Rasa kangen, jika ditumpuk dan terguling waktu, akan jadi bola. Dan bola itu, suatu saat akan pecah. Saat pecah, itulah rindu. Rasa kangen yang membuncah.
Sekarang, setelah aku mulai dewasa, aku rindu Abi.
Sangat rindu.

Rindu keteduhan matanya, rindu nasihat-nasihatnya.
Rindu sosoknya.
Rindu menghabiskan waktu bersama.
Dan rindu akan senyumnya.

Maka malam itu,
di tengah hujan yang membasahi ruang tempatnya berdiam di hatiku,
di tengah kalimat-kalimatnya yang menegaskan ia mencintaiku,
di tengah pandangannya yang bijaksana,
dan di tepi jurang yang memisahkan selama lebih dari tiga tahun,
aku memeluknya.
Lebih erat dari sebelumnya.
Aku menciumnya,
lebih takzim dari yang terakhir kali.
Dan aku bilang,
aku bilang aku mencintainya. Lebih dari laki-laki manapun, selain Rasulullah.





Juni 07, 2013

Hope someday ..





Keinginan baruku saat ini adalah:
STUDYING AT ENGLISH BOARDING SCHOOL, ENTERING AS A TWELVE-YEARS-OLD GIRL. LIVING PEACEFULLY WITH THE BEAUTY OF NATURE AROUND.

Could it be?


That's the dining room. And also, the dorm. It's all about togetherness. Just by wondering such a great fun moment, I'm totally happy now.


That's what I'm captivated to! The scenery is kind of a really nice thing ever that could be my first mood booster. And I think it could postpone me to grow older, hahaha.


I wonder if there's special uniform for student wears veil like me. If yes .. how would it be like?


The activity isn't only just studying but also having fun with sports, something like: rugby, lacrosse, and many more. Also, we could exploring the realm! It sounds very interesting, doesn't it?

Aku mencintai daun-daun gugur itu, dengan segala kerapuhannya ..




September sembilan belas tahun lalu, aku lahir. Tepat di saat pohon-pohol maple gugur di belahan Eropa sana. Aku bisa tahu, karena Tuhan menunjukkanku akan keindahannya.
Dan sejak itu, aku jatuh cinta. Pada warna-warna campuran karotenoid dan fikoeritrin itu. Yang gradasinya, membentuk lembayung. Indah, meski rapuh.
Daun-daun itu, mereka tegar untuk jatuh dengan kepasrahan. Membuat semesta tersenyum akan nuansanya, pun hanya singkat saja sebelum masa membuatnya busuk.
Cabang-cabang ranting itu, mereka ikhlas melepaskan. Ikhlas untuk ditinggal membeku sendiri kala salju turun nanti.

Gugur, ia benar-benar mencerminkan aku, di bagian rapuhnya.

Juni 06, 2013

YANG SEPERTI ITU BUKAN NIATKU!


Bulir-bulir air mata sudah akan jatuh saat aku membaca dua kalimat terakhir dan sebuah pesan singkat yang menyakitkan. Tapi ia bertahan. Tergantung dalam kekosongan kata. Sesak rasanya ketika niat kita dalam kebaikan, diinterpretasikan sebaliknya oleh orang. Sungguh, aku tidak bermaksud seperti yang ia kira. Tapi urusan hati memang siapa yang tahu? Seorang anak saja bisa salah arti tentang cinta ibu. Apalagi kita.



Seringnya, manusia terlalu menuntut yang lain untuk memahami, tanpa mau memahami. Baiklah, aku memang salah. Tapi tidak sepenuhnya. Dalam interaksi antar manusia, tidak ada yang betul-betul salah karena sudut pandangnya ada tiga: aku, kau, dan mereka. Lalu yang tahu kebenarannya cuma satu: Allah saja. Dan Ia nanti menjelaskannya saat kita berkumpul dengan telanjang kaki dan dada. Membentuk lautan manusia di Padang Mahsyar sana. Dan kebenaran, akan dibuka. Tidak ada lagi pengacara yang berguna.

Lalu lima menit kemudian, tiga buah pesan balasan kukirim. Kuharap dia membacanya dengan baik dan semoga udara bisa menghantarkan suaraku yang tertahan.

Singkat saja, begini bunyinya,
“Aku tidak pernah bermaksud menjatuhkan seseorang. Baik kamu maupun yang lain. Lalu menjadi superior sendiri. Yang seperti itu bukan niatku. Kurasa mereka perlu tahu, untuk mengoreksi jika aku sendiri salah memberi info padamu. Kurasa mereka perlu tahu, agar semuanya bisa terkoordinasi dengan baik. Karena ini bukan soal kerjamu atau kerjaku, ini soal kerja kita. Semuanya, tanpa terkecuali.”

Jadi maaf, jika usahaku untuk profesional membuatmu menjadi terlalu sensitif dan mengambil pemahaman yang salah. Semoga engkau tidak lagi merasa seperti itu, ya. Semoga niat kita terjaga hanya untuk hal-hal yang baik.

AKU TAHU, TAPI AKU ..





"Aku tahu butuh waktu yang tidak sebentar untukku menyempurnakan iman dan islamku.
Aku butuh pengalaman pahit dulu untuk menyadari hakikat hati.
Dan butuh berulang kali jatuh ke lubang untuk memurnikan cinta.
Aku tahu, aku belum sepenuhnya lepas dari kegalauan dan belum mahir menghadapi segala jenis perasaan.
Tapi aku, aku yakin ini cara Allah membimbingku untuk merasakan cinta sejati.
Cinta kepadaNya, karenaNya, dan pada orang yang cinta kepadaNya, dan pada orang yang mencintaiku karenaNya."

KAMI BERTEMU LAGI, INI YANG KEDELAPAN KALI


Ashar sebentar lagi memanggil. Aku masih berada di taman itu, sedikit menyapa senja sore itu dan membiarkan angin menyapu lembut. Tawa renyah aku dan sahabatku, Desi Pertiwi, diterbangkannya. Menjadi kabar pada seluruh alam, bahwa aku, orang yang paling jarang terlihat dan paling dingin akhirnya melepas hangat di perjumpaan dengan sahabat. Kami sama-sama rindu, rindu akan suatu komunitas yang ikatannya berdasarkan kecintaan pada dakwah fii sabiilillah. Aku tahu, aku mencintainya karena Allah. Dan itu yang tidak akan lekang, insyaAllah.
Bukan waktu yang lama, tapi aku senang kabarnya baik dan urusannya mudah. Bukan waktu yang lama, tapi aku senang aku bisa memeluknya dan menyampaikan salam keselamatan padanya. Adzan senja itu, yang akhirnya menangguhkan pertemuan kami.



Adzan senja itu juga yang menandai pertemuanku dengan seseorang yang lain. Mir, aku menyingkat namanya. Tempatnya bukan di sini, maksudku dia anak fakultas lain. Tapi entah, mungkin ada urusan. Sudah tujuh kali kami bertemu, terbingkai dalam sorot pandang yang sama. Lagi, lagi kau.
Kali ketujuh kami bertemu di sebuah acara kampus. Waktu itu hari sudah gelap, sekitar pukul sebelas malam dan penerangan yang ada cuma dari cahaya malu-malu sang bulan. Aku sudah tidak bisa membedakan yang mana mata yang mana hidung. Orang-orang hanya tampak seperti bayang-bayang. Dan di arah jarum jam pukul 11, aku menyadari keberadaannya. Dengan jaket organisasinya, gaya rambut jamur seperti adik sepupuku yang berumur lima tahun, dan senyum kekanakan ia memerangkapku. Untuk satu menit lamanya, tubuhku kaku. Yang aku tahu, senyumnya menyerap kehangatan tubuhku untuk kemudian memancarkannya lagi dengan sejuta kali daya yang lebih kuat.
Esoknya, ketika sarapan, aku betul-betul kaku. Ia membantuku mengambil tempe untuk teman-teman dan aku tidak sanggup untuk menatapnya lagi. Aku cuma berani menunduk dan membisikkan dua kata, “Terima kasih.” Dua detik kemudian aku dibuat tuli, karena dia bilang,”Oh, iya,”
Sejak itu, aku terlalu malu untuk sekadar melihat sosoknya. Seperti yang senja sore ini saksikan. Kami lagi-lagi berjalan pada garis yang sama. Dan untungnya, cepat berpisah di persimpangan menuju masjid dekat kantin. Kalau tidak, aku bisa kram kaki di tempat.

Ada empat hal yang membuatku bersyukur tentang sesuatu yang abstrak ini.
Pertama, Allah memberiku malu.
Kedua, tempatnya dan tempatku berjauhan. Dunianya dan duniaku beda dimensi.
Ketiga, aku lumpuh untuk mendefinisikan segumpal rasa yang menyeruak dan terlalu takut untuk mengukir nama selain Allah di hatiku lagi.
Terakhir, kami tidak saling mengenal. Dan aku belum mau mengenalnya lebih jauh. Terlalu riskan.

Dan Allah, sungguh Engkau Maha Penakluk Hati.

AKU SEDANG MENDEWASA


Ada banyak huruf yang akan tergores di atasmu, Kertas. Setelah sekian lama aku menyimpannya hanya dalam lipatan-lipatan ruang kalbuku atau membiarkannya melayang-layang di pikiran sebagai suatu gagasan.
Ini tentang perasaan.


Oh lagi-lagi, kenapa harus tentang itu, Kasih? Lagi-lagi galau. Tidak, tapi bukan itu. Orang-orang terlalu gampang memberi titel pada orang lain. Bahwa mereka yang sering membicarakan perasaannya, adalah hanya sekelompok orang penuh kegalauan dengan sensitivitas yang berlebihan. Sebagian bilang, kami ini sekumpulan orang-orang kurang kerjaan yang bicaranya hanya soal perasaan dan sibuk menumpul logika. Mungkin, itu memang benar.



Hei, tapi tidakkah mereka berpikir tentang satu kemungkinan? Bahwa sebagian dari kami, sedang menapaki jalan untuk mendewasa. Dan tidak sedikit dari kami, yang meskipun dengan terseok-seok, akhirnya bisa beranjak memahami dari satu titik hikmah ke hikmah yang lain. Dan belajar tentang kehidupan.

Karena bagiku, mendewasa adalah mengenai bagaimana kau bisa menjadikan perasaanmu seimbang dengan logikamu, sehingga akhirnya kau bisa melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang yang lain: apa yang mungkin terasa dan terpikir oleh lingkunganmu, bukan hanya tentang perasaanmu atau pikirmu saja.

Kemudian, tidak sedikit juga orang-orang memaki kami, yang berjalan terseok-seok ini. Dengan pandang penuh cela mencemooh, “Kau sungguh kekanak-kanakan.”
Mereka mungkin tidak tahu, bahwa yang terpenting adalah kami bergerak. Meskipun lambat temponya. Kami melangkah, meskipun dengan luka dan susah-payah.
Tapi percayalah, meskipun dengan berlari, mendewasa adalah proses yang tiada akhirnya. Jangan kau pikir, persoalan dewasa adalah seperti lomba maraton. Di mana semua peserta melalui jalan yang sama untuk menyentuh pita kemenangan dan pada akhirnya akan ada juara satu, dua, dan tiga.
Maka jangan sekali-kali kau samakan. Kau perlu tahu mendewasa adalah proses tanpa akhir yang panjang lintasannya untuk setiap orang berbeda-beda. Tergantung umur yang sudah Allah tetapkan di lauhul mahfudz sana. Pun halangan dan rintangannya. Ada yang lurus tapi terjal, ada yang berkelok tapi mulus, ada pula yang kombinasi keduanya. Dan setiap jalan, tidak ada yang lebih susah atau lebih mudah.

Jika kau melewati jalanmu, prosesmu mendewasa dengan berlari, pastikanlah kecepatannya konstan. Sehingga kau tidak berhenti atau malah terjatuh karena terlalu cepat. Pastikan kau tidak akan kelelahan sampai maut menjemputmu di titik akhir yang kasat mata.
Jika kau melewati jalanmu dengan penuh luka, pastikan kau menemukan obat penyembuhnya di pinggir-pinggir jalan itu. Sehingga kau tidak begitu saja lumpuh dan berhenti sebelum Izrail menjemputmu. Tapi kau, harus berusaha mencarinya. Karena terkadang, bunga yang cantik punya duri dan racun yang akan melukaimu lebih dulu sebelum kau memetik dan menikmati indah mahkotanya. Dan dalam hidup, kau mungkin akan menemukan banyak manfaat setelah kau berkali-kali tersakiti.
Jika kau melewati jalanmu dengan letih dan lelah, pastikan kau menemukan minuman dan makanan. Atau kau bisa saja beristirahat sebentar di balik daun-daun rimbun yang menghiasi pohon rindang. Tapi jangan berhenti terlalu lama. Nanti kau bisa merasa begitu nyaman untuk waktu yang panjang dan menua tanpa mendewasa.

Dalam hidup, akhir tidak perlu dicari dan sia-sia jika dipertanyakan. Kau mungkin akan bertanya-tanya dalam bingung dan letihmu. Tapi jawabannya akan datang ketika akhir itu sendiri yang menemuimu.

Aku sedang belajar mendewasa. Sudah banyak lukaku, kusingkap jika kau mau lihat. Terkadang, aku membandingkan jalanku dengan yang lain. Biasanya aku iri. Karena sepertinya rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Aku juga biasa mengutuki diriku sendiri, tadinya. Tentang mengapa aku merasa menjadi yang terburuk di antara manusia lain. Tentang mereka yang terlihat jauh lebih sempurna. Padahal, mungkin juga ada yang melihatku sebagai yang lebih darinya. Bukankah memang anak Adam susah sekali bersyukur?

Tapi, Allah, Yang Maha Terang, Sang Pemberi Hidayah, tidak henti mencurahkan hikmah-hikmahnya padaku. Tak henti menunjukkan jalanku. Tak lekang mendampingi untuk menuntunku. Yang membuatku akhirnya percaya bahwa Dia memang menujukkan kasih sayangnya melalui perlakuan yang berbeda untuk setiap hamba. Bahwa Dia bukan hanya melihat akhir, tapi juga melihat prosesnya. Sehingga yang terpenting bagi keselamatan dunia dan akhiratku bukanlah persoalan jalan siapa yang lebih mudah, siapa yang lebih sukses, siapa duluan yang mencapai akhir dengan husnul khatimah, atau siapa yang punya kedewasaan lebih tinggi saat ini.

Yang Allah ingin untuk aku pahami adalah: Aku tidak akan berhenti, untuk mendewasa di jalan paling indah yang sudah Ia tetapkan sebagai mediaNya membimbingku sampai ke ridhaNya, insyaAllah. Pada akhirnya nanti, jalan yang kulalui akan terasa indah dan dijadikan atasnya kerinduan yang dalam. Pada akhirnya nanti, cahaya Allah akan sepenuhnya menerangi jalanku dan menjadikannya terang benderang dengan kemilau-kemilau, asal aku tidak pernah berhenti. Berhenti mendewasa.

Mei 15, 2013

Maksudku: Aku sudah merasa jauh


Aku merasa jauh. Dan itu salahmu. Titik.
Ya, aku memang begini.
Memang bukan tipe wanita penurut, baik-baik, dan sempurna.
Aku jauh dari itu dan salahmu datang padaku.
Benci.
Yang ada itu jadinya.
Aku membencimu. Jelas?

Pergilah


Kau tahu aku sakit. Dan masih saja menyuruhku diam. Ah, sudahlah. Cari saja orang lain. Aku bukan orang yang tepat.

Kau tahu aku rapuh. Dan terus saja membuatku pecah. Susah payah aku menyusun puing-puing yang berantakan.

Kau tahu aku sakit! Kau tahu aku rapuh! Pergilah!

Mei 12, 2013

SENYATA ITU


Aku mencintainya karena Allah, katanya sambil menangis sesenggukan di hadapanku.

Apa?
Aku juga seorang pencinta, dan aku marah mendengarnya. Kau tidak pantas mengatasnamakan cintamu denganNya. Tahukah kenapa? Maka dengarkan aku bercerita hingga akhir, sembari kau mereka-reka.

Dan aku juga yakin dia mencintaiku karena Allah, Han. Aku menatapnya dalam-dalam. Sungguh, Tuhan, aku mencintai gadis lugu di depanku ini. Seorang sahabat, yang kepadanya terkadang aku bersikap terlalu protektif. Dan kini, di bawah gumpalan awan pengisi luasnya langit yang semakin temaram, ia menangisi laki-laki itu.

Tahu dari mana ia mencintaimu karena Allah? Pandanganku berkata.

Iya, dia pernah bilang .. Kalimatnya terpenggal oleh sendu.

Lalu kamu percaya?

Iya, aku percaya.


Aku menghela nafas panjang dan memeluk tubuhnya yang terguncang hebat. Penyakit asmanya bisa kambuh kapan saja dan itu membuatku khawatir.

Kau tahu tidak, sayangku? Sebenarnya aku geram. Siapakah ia yang katanya mencintaimu karena Allah tega menyiksa perasaanmu seperti ini? Siapakah ia yang katanya menyayangimu karena Allah tega menjamah jiwa dan ragamu tanpa ikatan yang halal? Siapakah ia yang kau cintai karena Allah itu? Ia telah membuatmu berduka dan lupa segalanya hanya karena tidak ingin kehilangan dia, sementara ia membuatmu kehilangan Allah.

Sebab itu aku tidak ingin jauh darinya, Han. Tidak ingin. Biar, biar semesta alam memusuhiku, biar aku dihukum, biar saja. Aku hanya ingin satu hal. Dia. Ia menyeka sudut-sudut matanya dengan ujung jilbab hitam yang lusuh. Terpakai sudah segala jenuh untuk menghapus keluh hati sahabatku.

Cinta memang sering terlalu angkuh dan membutakan mata hati pemiliknya. Ia bisa saja menyihir segenap inderamu hingga telinga tidak lagi tajam mendengar suara selain suaranya. Hingga ingkarlah dirimu dari segala perintah, kecuali dari ia yang telah menundukkanmu.
Persis itulah yang terjadi pada suaraku saat itu, Kawan. Baginya, mungkin suaraku hanya seperti bising jangkrik tengah malam, atau kicauan burung saat menyambut pagi. Hanya penyemarak alam yang dengan cepat berlalu. Atau bahkan, jikapun kata-kataku bisa menyentuh relungnya dengan sebuah kejutan makna, kesanku hanya akan seperti halilintar. Sesaat menggelegar, menggetarkan. Akan tetapi, tidak lebih dari beberapa detik suaranya kemudian hilang tak berjejak.

Aku saat itu tidak lebih alim, tidak lebih suci darinya. Masih tertatih belajar menata perasaan. Meraba-raba bergerak menuju cahayaNya. Jadi, jika kau bertanya bagaimana seharusnya cinta karena Allah itu, maka jangan heran jika aku gagap tak kuasa menjawab. Lebih baik diam menutup mulut dengan rapat.



Waktu berlalu, tahun-tahun berganti angka. Sampailah kita di akhir Maret, yang menyambut datangnya April. Lima tahun sejak isak sahabatku mengering dalam kenangan.

Sudah sebulan kita bersama, kau ingat? Tingkahmu, tawamu, candamu, mereka seperti candu. Entah jenis apa, yang jelas kau membuatku menjadi hiperbolis. Lebih-lebih melankolis. Seperti pemain sajak, yang bahagia di tengah tarian kata dan metafora yang bersanding di panggung-panggung makna. Dan dengan anggunnya, kerlingan mereka menyulapku menjadi penyair sesungguhnya.
Aku tidak pernah minta, hanya saja kau datang tiba-tiba. Mengejutkanku dengan auramu. Dengan sosokmu yang sederhana, datang menyerahkan sepotong hati yang terbalut cinta. Katamu, itu punyaku.
Dan memang begitu. Cinta kenyataannya sungguh tidak punya sopan santun. Datang tanpa permisi, dan tidak sedikit yang pergi menyisakan luka.
Ada banyak hal yang membuatku sungguh-sungguh mencintaimu. Apa kau ingin tahu? Biar kusebutkan. Jangan menyelaku untuk berkomentar atau menyanggah, nanti aku lupa.

Aku menyukai tegasnya sikapmu dalam memilih.
Aku menyukai sorot matamu yang dalam ketika menatapku.
Aku menyukai caramu memercayaiku, lebih dari yang kukira.
Aku menyukai caramu meminta kejujuranku.
Aku menyukai caramu memberiku kesempatan berbicara, sebelum kau akhirnya memutuskan langkah.
Aku menyukai caramu menasihatiku, yang lembut tapi berwibawa.
Aku menyukai jiwamu yang optimis, pasrahmu pada Allah. Bahwa atas segalanya, Allah pasti memberikan jalan keluar.
Aku menyukai kalimat-kalimatmu, yang mengingatkanku bahwa: jangan pernah mencintai apapun lebih dari cintamu pada Allah
Aku menyukai lapangnya hatimu saat tertawa dan ditertawakan.
Aku menyukai binar di wajahmu ketika kau bercerita tentang hal-hal yang kaupelajari
Aku menyukai tegarnya kau dalam menghadapi setiap cobaan di hidupmu.
Aku menyukai caramu membangunkanku di suatu pagi. Yang menunjukkan kau peduli tingkat tinggi.
Aku menyukai bacaan Qur’anmu yang kudengar setiap habis maghrib.
Aku menyukai caramu menjagaku. Dalam doa di setiap sujud. Dan aku berterima kasih atasnya.
Aku menyukai caramu memastikan aku baik-baik saja. Memastikan ada seseorang yang bisa memelukku ketika aku merasa sendirian. Sebelum kau bisa melakukannya sendiri, katamu.
Aku menyukai caramu menegurku. Mengena, tanpa menyakiti.
Aku menyukai gayamu yang sederhana, pandanganmu tentang Islam, dan visi-misi hidupmu untuk menaklukkan dunia.
Aku menyukai pandanganmu tentang Muhammad. Bahwa kau menjadikannya teladan, dan keinginanmu untuk mencontohnya dengan sempurna.
Aku menyukai dan betul-betul menghargai keinginanmu untuk menjadikan cintamu seperti cinta Ali dan Fatimah.
Tapi aku membenci caramu membuatku merindu akan semua hal itu.


Malam ini sungguh, jiwaku sesak. Air mataku jatuh dan yang dapat kuingat hanya tentangNya.
Bahwa aku sudah menghabiskan malam demi malam untuk bersamamu. Ketika di saat yang sama, aku seharusnya bisa lebih mengingatNya.
Bahwa aku telah menggadaikan mataku atas nama cinta untuk dapat melihatmu dan menyentuh dalamnya perasaan lewat tatapanmu.
Bahwa aku telah membuatNya marah dan cemburu sehingga kini Ia menjauh dariku. Dan aku merasa begitu lelah. Lelah untuk membuatNya jauh lebih murka.

Lalu dengan tekad yang bulat dan hati yang tenang, aku menyerahkan segenap perasaan untukmu pada Zat yang kuasaNya mengatur seluruh alam. Yang kuasaNya mampu menggenggam dan membolak-balikkan hati. Yang kuasaNya meliputi seluruh kehidupan: lampau, kini, dan masa depan.
Maka kutitipkan sepotong hati bertuliskan namamu malam itu. Dengan air mata ikhlas tulusku sebagai pengantarnya. Aku, untuk pertama kalinya, tidak takut untuk kehilangan cinta.



Jadi, sudahkah kau temukan jawabnya, Kawan? Dua kisah itu bercerita tentang perbedaan. Antara yang hakiki dan yang semu. Semua cinta adalah atas izinNya, tapi sedikit saja yang hadir karenaNya.
Senyata itu, sejelas itu mereka berbeda.

Mei 07, 2013

MAKA KENALKAN, AKU SEIZU. DALAM BAHASA IBUKU, ARTINYA SANG PENCEMBURU.




“Aku melihat dan memerhatikanmu. Ada gaya tarik di senyum dan geliatmu.
Kau cerdas, kau penuh semangat.
Semua pria bisa saja jatuh hati.
Ada wanita yang jauh dari itu membencimu. Iri pada sosokmu.
Entah kapan bisa menjadi sepertimu. Yang sepertinya tanpa beban.

Aku mengenalmu. Berbulan-bulan lalu, di suatu November. Kala itu kau masih terlihat biasa saja. Tidak lebih rapi dariku. Tidak lebih idealis.
Kau di mataku, masih biasa saja.
Kini penghujung Maret dan aku risau. Cemburu padamu. Kebas melihat sikapmu. Gerah, bahwa kau telah menawan seseorang sebelum aku.
Kau mungkin masih ingat, tapi juga tidak.
Aku memang tidak cukup berharga untuk dikenang. Dan tidak pula cukup bernilai untuk dikenal. Tidak seperti kau. Yang sepertinya semua orang ingin di dekatmu.

Jika kau matahari baginya,
Aku ini hanya satu di antara kumpulan asteroid dekat Jupiter itu.
Satu di antara kepingan planet mati.
Tanpa cahaya, apalagi gravitasi.
Jutaan kali lebih kecil, lebih tak berdaya, lebih tak bermakna.

Kau menoreh suatu luka, yang jika tersentuh untuk diobati
Malah terbuka menganga
Sebab namamu di hatinya, sulit terlupakan
Penyebab ringkihnya aku dan rentanya namaku
Aku berpijak pada hati yang dipesonakan auramu
Sehingga sisa-sisa cahayaku menjadi sungguh remang
Muram seperti durjana malam yang menghitam kelam

Hai kau, kenalkan,
Aku ini wanita tanpa wajah. Datar dan tak hidup. Seperti padang pasir di tanah Afrika. Tempat kelahiran orang-orang yang ditakdirkan hidup terlunta-lunta.
Aku ini wanita tanpa kehormatan. Semua orang menatapku layaknya sampah. Dan tempatku ... hanya di sudut ini. Pojok di mana pandanganku melesat padamu, menancap fisikmu dalam bayang kasat mata imajinasiku. Tempatku ingin menerkammu. Dan mati bersama perasaan buas lagi puas.

Maka kenalkan, aku Seizu. Dalam bahasa ibuku, artinya Sang Pencemburu.”


Bukan, surat kecil itu bukan untukmu. Adalah untuknya: Wanita yang menyandarkan lelapnya di pundakmu.

Lelaki itu: Kau lagi



Ivanovich Lawrean. University of Zurich.
Dia lagi.


22 Februari
Aku rasa aku salah masuk forum. Di sini membosankan. Membuat jengah. Dan mereka hanya beradu pendapat tanpa tentu arah. Hei, presidium, Anda membutuhkan wibawa lebih dari itu untuk menenangkan mereka. Pinjam saja suara petir yang menggelegar jika betul-betul tak sampai.
Aku tertawa saja. Ironi. Sungguh sayang, waktuku terbuang sia-sia. Begitu juga dengan ..uangku.
University of Kent. Derrick Manhattan. Dia sekarang sedang mengajukan pendapat tentang penundaan acara. Oh tidak, pikirku, jangan bilang aku harus pulang dengan tangan kosong, perut lapar, dan hati yang kesal.
George-August Universitat. Sebastian Ballack. Orang ini sudah berbicara berpuluh-puluh kali. Dan mengutarakan hal yang sama. Penuh arogansi. Mungkin karena budaya Jerman yang berdisiplin tinggi, dia jadi sangat murka dengan pelayanan panitia acara. Oh jujur, aku juga kecewa. Tapi bisa tidak jika dia mengatakannya dengan nada yang lebih lembut?
Dari sekian banyak kontingen universitasku yang terdaftar, hanya aku yang bernasib sial kali ini. Mereka boleh saja tersesat seharian di Milan sehingga terlambat menghadiri acara sialan ini yang jaraknya berpuluh-puluh kilo dari pusat kota. Tapi setidaknya mereka tidak terperangkap dalam ruangan penuh orang-orang sombong yang saling bersilat lidah. Jika saja aku bisa berapparate seperti Harry Potter, sungguh beruntung aku.
University of Singapore. Christian Hans. Entah dia berbicara apa, mungkin sama intinya seperti yang dibilang Manhattan dan Ballack. Ini dapat dengan mudah terbaca, ada dua kubu. Kubu panitia dan kubu kontingen forum. Satu menyerang, satu bertahan. Membela diri dan memaksa agar acara tetap berjalan.
George-August Universitat. Sebastian Ballack. Dia hanya membenarkan Hans. Sudah kubilang khan? Tumben dia tidak banyak omong.
Matahari di luar sudah agak mendung. Sebentar lagi rinai hujan akan menari di tengah kuncup-kuncup bunga yang menunggu mekar. Satu bulan lagi mungkin, kota ini akan indah berhiaskan warna bunga-bunga. Kuning, jingga, merah, ungu, semuanya. Andai saja visaku tidak punya masa berlaku .. aku mungkin akan menghabiskan waktuku di sini berbulan-bulan.
Seorang pria berdiri. Tepat menghalangi arah pandangku ke jendela. Susunan tempat duduk di ruangan ini bundar. Dan pria itu, tepat menghadapku.
Ivanovich Lawrean. University of Zurich.
Apa? Coba ulangi. Ivanovich Lawrean. Ketua Riset dan Teknologi.
Apa? Aku sejak lama menjadikan lembaga mahasiswa yang dipimpinnya sebagai objek idealisme.
Tiba-tiba ruangan ini terasa begitu sempit. Dan jarak yang memisahkan meja kami menjadi semakin pendek. Sungguh tidak menyangka bisa bertemu.
Pria itu biasa saja. Sama seperti presidium forum, tidak berwibawa. Tapi entah, sepertinya dia punya magnet berukuran besar yang bisa menarik perhatianku. Atau mungkin dia punya sistem gravitasi sendiri.
Sesungging senyum lebar menghiasi wajahnya setelah berkata sesuatu. Aku tidak mendengarkan. Terlalu fokus dengan hal abstrak yang melekat pada sosoknya. Dan senyum itu .. senyum kekanakan itu menjawab pertanyaanku bahwa mungkin ia memang punya gravitasi sendiri.
Anehnya, saat itu pikiranku masih saja bisa berkata gengsi, “Oh, jadi ini ketuanya? Kualifikasi standar.”

Masih ruangan yang sama. Kelanjutan acara dari yang sempat tertunda beberapa bulan lalu. Dan ia, masih saja dengan senyum kekanakannya yang kalau dilihat sekilas cukup manis. Baiklah, aku mengakuinya. Hujan yang sama yang turun di langit kota ini resmi kunobatkan jadi saksi.


25 Maret
Pria itu lagi. Kami berada satu barisan. Berjarak enam kursi. Menambah berisiknya diskusi sosial politik di forum ini, suara-suara di kepalaku berebutan bicara, “Bukankah itu dia?”
“Ya, ya benar dia!”
“Untuk apa di sini?”
“Nyasar sepertimu, mungkin.”

Dan semakin berisik saat pandangan kami bertemu tak sengaja. Tertarik pada satu titik gravitasi kasat mata di tengah-tengah kami.
Deg.
Ah, biasa saja.

27 April
Riuh rendah sorak sorai ribuan orang di balai tempat kami berkumpul dalam olimpiade internasional. Entah apa lagi yang mendorongku untuk mengikuti acara-acara semacam ini. Aku rasa-rasanya sedang jatuh cinta pada keramaian dan teriakan. Ribuan suara memekik nyaring, bersatu padu meneriakkan almamater masing-masing. Euforia ini seperti candu. Semakin dihisap, hasrat melakukannya lagi semakin besar.
Dari arah barat kami, serombongan orang datang. Dengan semangat yang menyala-nyala menggentarkan siapapun yang mendengar. Satu orang sebagai pemimpin vokal, yang lain mengikuti komandonya.
Orang itu .. Oh mungkin lebih tepatnya pria itu. Itu dia.
Deg.
Dia melihatku. Dan aku berpaling.
Waktu bergulir dan aku tidak tahu apakah interval itu berbentuk detik atau menit. Tapi lagi-lagi, pandangannya padaku.
Benarkah padamu?
Oh sudahlah, aku tidak peduli.

Di persimpangan jalan menuju ruangan sebelum acara dimulai, seseorang menyilang di depan jalanku.
Ivanovich Lawrean. Pria yang sama.
Lagi untuk kesekian kalinya.
Deg!
Pandangan kami bertemu. Untuk sebuah alasan abstrak yang wujudnya hingga kini masih berdasar terka.

Mei 05, 2013

Kau mau tahu?


Kau mau tahu apa yang kurasa?
Sudahlah.

Kau mau tahu apa yang kurasa?
Entahlah.

Kau mau tahu apa yang kurasa?



Mau tahu?
Tanyakanlah pada garis senyumku yang melingkarimu.
Tanyakan mengapa ia tak hentinya menghiasi wajahku kala ada kamu.
Tanyakanlah pada air mata dalam sujudku.
Tanyakan untuk apa ia jatuh membasah.
Tanyakanlah pada sorot mata yang tak mampu memandangmu.
Tanyakanlah pada bibir yang terkatup tak mampu berkata.
Tanyakan mengapa aku begitu malu.
Tanyakanlah pada cicak-cicak yang menyaksikan kesendirianku di ruangan itu.
Tanyakan siapa yang kuharap datang menemaniku.
Tanyakanlah pada daun-daun gugur yang menyangsikan kekuatanku dalam penantian.
Tanyakan padanya apa yang kunantikan.
Tanyakanlah pada rinai-rinai hujan yang mengaburkan jejak tangisku.
Tanyakan padanya tentang usahaku menghapus kesedihan.
Tanyakanlah pada jarak yang memisahkan.
Tanyakan padanya tentang arti kedekatan.
Tanyakanlah pada air yang mensucikanku dalam bermunajat.
Tanyakan padanya siapa yang kudengungkan.
Tanyakanlah pada ayat-ayat yang gemanya sampai ke relung jiwa tempatmu berada.

Tanyakanlah pada Penciptaku.
Dia tahu segalanya. Tahu segalanya.

Mei 03, 2013

Penolakan


Sejenak mari kita berlindung di balik sudut. Untuk menghilang dari penjelasan penuh belit.
Serta menenangkan hati yang larut dalam emosi.
Dan berpikir ulang mengenai kita dan dunia.

Kau tidak bisa menjanjikan apa-apa, begitupun aku.
Tapi sungguh kejam, ketika kau hanya menyisakan robekan luka.
Yang sekarang susah payah kujahit dengan sisa-sisa tenaga.
Tenagaku untuk mencintaimu.

Aku merasa ada penolakan.
tidak menduga gaya penolakanmu akan timbul secepat itu.

Mei 01, 2013

Ya Allah, Izinkan Dia Untukku! (1)


Ya Allah, aku berdo'a untuk seorang pria yang akan menjadi bagian dari hidupku.
Seorang yang sungguh mencintaiMu lebih dari segala sesuatu.
Seorang pria yang akan meletakkanku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau.
Seorang pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untukMu.
Wajah ganteng dan daya tarik fisik tidaklah penting.
Yang paling penting adalah sebuah hati yang sungguh mencintai dan haus akan Engkau
dan memiliki keinginan untuk menjadi seperti Engkau
(meneladani sifat-sifat agungMu)
Dan dia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup, sehingga hidupnya tidak sia-sia.
Seseorang yang memiliki hati yang bijak, bukan hanya otak yang cerdas.
Seorang pria yang tidak hanya mencintaiku tetapi juga menghormati aku.
Seorang pria yang tidak hanya memujaku
Tetapi dapat juga menasihati ketika aku berbuat salah.
Seseorang yang mencintaiku bukan karena kecantikanku tetapi karena hatiku.Seorang pria yang dapat menjadi sahabat terbaikku dalam setiap keadaan dan situasi.
Seseorang yang dapat membuatku merasa sebagai seorang wanita ketika berada di sebelahnya.
Aku tidak meminta seorang yang sempurna.
Namun aku minta seorang yang tidak sempurna,
Sehingga aku dapat membuatnya sempurna di mataMu.
Seorang pria yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya.
Seorang pria yang membutuhkan do'aku untuk kehidupannya.
Seseorang yang membutuhkan senyumanku untuk mengatasi kesedihannya.
Seseorang yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna.
Dan aku juga meminta:
Buatlah aku menjadi seorang perempuan yang dapat membuat pria itu bangga.
Berikan aku sebuah hati yang sungguh mencintaiMu, sehingga aku dapat mencintainya dengan cintaMu, bukan mencintainya dengan sekadar cintaku.
Berikanlah sifatMu yang lembut sehingga kecantikanku datang dariMu bukan dari luar diriku.
Berilah aku tanganMu sehingga aku selalu mampu berdo'a untuknya.
Berikanlah aku penglihatanMu sehingga aku dapat melihat banyak hal baik dalam dirinya dan bukan hanya hal buruk saja.
Berikan aku mulutMu yang penuh dengan kata-kata kebijaksanaanMu dan pemberi semangat,
sehingga aku dapat mendukungnya setiap hari,
dan aku dapat tersenyum padanya setiap pagi.
Dan selalu memberikan semangat untuknya.
Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu,
aku berharap kami berdua akan mengatakan
"Betapa besarnya Allah itu karena Dia telah memberikan kepadaku seseorang yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna."
Aku mengetahui bahwa Engkau menginginkan kami bertemu
pada waktu yang tepat dan Engkau akan membuat segala sesuatunya indah pada waktu yang Kau tentukan.


- halaman 67 --70

Book Fair!


Ya, mulai hari ini sampai tiga hari ke depan di kampusku ada book fair, bahasa kerennya pameran buku. Lebih tepatnya Islamic Book Fair, yang menyelenggarakan adalah teman-temanku dari SalamUI. Ceritanya, beberapa minggu yang lalu saya sudah berazzam. Bahwa saya akan menyisihkan sebagian dari uang bulanan saya untuk membeli buku setiap bulannya. Selain itu, preferensi buku saya berubah: tadinya menyukai novel dan buku-buku sastra, sekarang bertambah. Saya sedang berusaha menambah ilmu agama melalui buku. Masa mau jadi seorang ibu yang cerdas tapi ngga paham agama? No way, saya harus lebih rajin beli dan baca buku-buku islami mulai dari sekarang.

Alhasil, semata-mata karena tekad dan kecintaan saya terhadap buku, maka saya menyempatkan diri ke balairung pada pukul empat sore sebelum pulang ke Bogor.

Ditemani oleh Desi Pertiwi dan Yuniaty Afrieny saya berkeliling. Awalnya selalu begitu, sweeping. Atau kalau bahasa biologi kerennya: habituasi. Hehehe. Kemudian baru benar-benar memilih buku.

Ah, saya betul-betul jatuh cinta dibuat mereka. Mereka? Iya, buku-buku itu. Sampai saya bingung mau pilih yang mana.

April 30, 2013

Kelak


Kelak suatu saat nanti, aku akan jadi bayangmu.
Yang setia, ke manapun pergi.
Ada,
untuk membuatmu merasa tidak pernah sendiri. Dan untuk mengayomi.
Seperti langit sore dan lembayung yang selalu hadir bersama.
Atau bintang dan bulan penghias malam yang berlomba melukis nuansa di hati kita yang kala itu mengharap temu.

Kelak suatu saat nanti, aku tak lagi diam.
Dan menyerahkan seutuhnya apa-apa yang menjadi hakmu.
Seperti ikhlasnya sekuntum bunga, untuk menjadi pemuas lebah madu.
Atau seperti buah, yang rela sakit untuk menebar bibit.
Dan pohon-pohon kelapa yang tak menjerit ketika petani mencabik batangnya. Memberi manusia, manfaat peluruh dahaga. Di tepi pantai, tempat karang-karang rela terhempas ombak. Menjadi tempat bernaung bagi ikan-ikan, bulu babi, dan makhluk lautan lainnya.



Jadi, sekali ini saja bertahanlah. Untuk sesuatu yang abstrak bernama cinta. Yang tertawan dalam keheningan syahdu senandung rindu.
Sebab kelak, aku akan membuatmu merasa istimewa. Layaknya syuhada yang dicintai bidadari surga.

April 29, 2013

"Hai kau, hati-hati ya."


Rembulan kemarin malam begitu terang. Namun aku tetap tidak mampu melihatmu dalam kegelapan. Mengapakah?
Rembulan kemarin malam begitu terang. Dan kehadiranmu menguatkan cahayanya. Namun kau sungguh membuat buta.



Seketika aku merasa begitu anggun. Dan damai. Dan sempurna.
Seperti saat ketika angin menghembuskan ketentraman di hati mereka yang gerah dalam amarah.
Kau mampu menggerakkan malam untuk akhirnya membiusku, menyisakan sorot mata yang beku, raga yang kaku, dan lisan yang gagu. Namun jiwaku hidup, lebih hidup dari kuncup pertama pohon-pohon maple saat mentari menyapa lewat cairnya sisa-sisa salju. Jiwaku bebas, lebih bebas dari kupu-kupu yang memesona di taman-taman surga. Bebas. Dan membuat kebas.

Usahlah kau menyapaku. Dengannya aku tersiksa, kata-kata sengaja berdiam di sudut penjara tak bersipir. Sesekali keluar dalam bisik untuk menghirup aroma kasih saat betul-betul keruh. Tapi apakah kau mendengarnya? Karena aku menjadi betul-betul bisu sejak mencintamu.

Di dalam sini, rasanya hangat.

Malam itu begitu tenang, bulan jelas-jelas tampak. Lewat senyum malu aku mensyukuri keberadaannya. Juga keberadaanmu yang berkata,
"Hai kau, hati-hati ya."

Lalu aku kembali tak sempurna. Tanpa kau, malam kembali biasa.

Bacalah, suatu saat jika kau sempat.


Jika kau sempat, bacalah.
Kau akan tahu jiwaku. Yang ikut larut dalam setiap kata, meski yang merangkai bukan aku.



Jika kau punya waktu, rasakanlah.
Bait-bait kata yang terjalin sempurna. Akan ada hal-hal yang kau tahu aku pernah berkata.

Jika kau jenuh dalam diammu, resapilah.
Walau bukan aku penulisnya, tapi kita adalah pelakunya.

Diam.


"Cinta datang tanpa kata.
Cinta terjalin tanpa suara.
Lalu meraung dalam sukma.
Merusak logika.
Hanya diam untuk mencinta.
Menikmati setiap rasa."

April 03, 2013

Bangkit, Han, bangkit!

Menjadi dewasa itu tidak semudah yang dibayangkan.
Butuh tiga hal.
Sabar, syukur, ikhlas.
Tiga-tiganya berkaitan, ngga bisa sabar doang tapi ngga ikhlas ataupun sebaliknya.

Sejujurnya, gue ini masih seperti anak kecil. Gue ngga akan pura-pura mengatakan bahwa gue ini sudah dewasa. Kalau dewasa itu bernilai sepuluh, gue ini masih bernilai kurang dari lima.

Ayo, kita list apa aja kekurangan dari seorang Haniyya.
Kekurangan (solusi):
1. Terlalu banyak mengeluh (istghfar)
2. Cenderung ngga suka dikalahkan dan disalahkan (istighfar, ikhlaskan)
3. Terlalu memikirkan hal negatif (istighfar, boleh hanya untuk saat-saat tertentu, selebihnya husnudzan)
4. Ngga sabar (istighfar)
5. Maunya dimengerti, kurang mengerti orang lain (husnudzan)
6. Moody dan labil
7. Mudah kalah oleh perasaan sendiri (hindari segala bentuk hubungan percintaan)
8. Sok kuat, padahal lemah
9. Terlalu banyak berbicara hal yang sia-sia (diam, baca Qur'an atau dzikir)
10. Terlalu sering menyinggung orang lain (diam, husnudzan)
11. Ketus saat berbicara dengan orang lain (tarik nafas, atur apa yang mau dibicarakan, bicara dengan lembut)
12. Terlalu banyak menuntut, bukan memberi (banyak sedekah: jangan lupa tentang Daun Bio dan Adik Asuh IMB)
13. Terlalu sensitif



Maret 13, 2013

Katanya, Aku ini kunci

Baru kali ini gue merasa benar-benar bodoh.

Perasaanku seperti debu.
Melayang-layang diudara tanpa pegangan.
Bergerak ke mana angin membawa.
Dapat menempel di hatimu.
Dan menjadi seonggok kotoran di dalamnya.
Putih yang bernoda.

Perasaanku seperti saat memutar anak kunci dengan tergesa.
Terbolak-balik memaksa.
Dan aku, yang memegang kendalinya, memang terlalu naif untuk menerima.
Sementara kau, diam menunggu dibebaskan seperti tahanan dalam penjara.

Perasaanku seperti angin yang murka.
Mendobrak pintumu dan mengacak ruangan dan seisinya.
Kemudian pergi dengan mengamuk.
Membanting pintu hingga rapat lagi.

Perasaanku muncul begitu saja seperti semut yang berpegangan pada jamur,
Di batang yang berlapiskan permadani lumut.
Hangat, namun licin.
Dan aku takut tergelincir.

Perasaanku seperti berpegangan pada pohon tumbang di tepi jurang.
Melepaskannya berarti kau mati.
Bergantung padanya, tetap akan mati.



Kau bilang aku kuncinya, benarkah?
Kupikir bukan.
Entah mengapa,
Aku masih yakin kau werewolf
Bertopeng biksu di bawah terik
Memangsa hati di balik purnama.
Kau bilang aku kuncinya, benarkah?
Kupikir bukan.
Sederhana saja,
Sorot matamu menyembunyikan sesuatu.
Dan mengatakan, ”Kau gila mencintaiku.”

Februari 18, 2013

Idealisme Kami


Ada satu penggalan yang selalu terngiang ..

"Kami tidak mengharapkan suatu apapun dari manusia. Tidak juga popularitas. Atau hanya sekadar ucapan terima kasih."

Dan berbekal inilah, aku berserah diri untuk ikhlas karenaNya.

Februari 14, 2013

Dear You,



7 Februari 2013

Hai. I’m back!

Setelah sekian lama terlupakan, akhirnya aku kembali. Padamu yang senantiasa setia. Mendampingi dengan segala kekuranganmu yang entah mengapa hatiku tertambat padanya.

Maaf ya, aku terlalu takut untuk mengatakan aku memang lari dari segala kenyataan. Bersembunyi di gelap yang asing dan terkadang menggigil dalam kesunyian yang beku. Aku hanya khawatir pada tubuhku. Dan memilih berlari mengukur jarak hingga akhirnya lelah dan memutuskan kembali.

Entah apa yang terjadi. Aku hanya tidak ingin memikirkannya. Tidak, kawan, aku bukan berlari.


Aku melangkah kali ini.

Dear You,


14 Oktober 2012

Akhirnya bertemu lagi di ruang dan waktu yang damai.

Dua hari yang lalu aku sangat antusias mengikuti rangkaian perjalanan ke Pulau Pari tempat kami melakukan pengamatan lapangan. Sejak awal, aku agak khawatir dengan kesehatanku dan nyatanya dugaanku benar. Aku sakit selama kami menginap di Unit Penelitian Terpadu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Masuk angin dan pre-menstruation syndrome.
Entahlah, dan kupikir ini ada hubungannya juga dengan ruangan yang full-AC.

Awal yang baik. Setidaknya aku menikmati perjalananku menuju pulau. Bermain menyapa angin yang berhembus. Lembut menyapu kulitku. Ah alangkah indah menikmati gemercik buih lautan di bawah langit biru yang terlukis sempurna. Biru, biru, dan biru.

Karena aku sakit tepat saat fajar mulai menembus cakrawala, aku jadi tidak berkesempatan untuk mengamati burung-burung laut yang tangguh. Aku tidak begitu jago di bidang ornitologi, tetapi setidaknya aku ingin belajar meskipun belum diberi kesempatan yang tepat. Dan, oh hampir saja aku juga tidak ikut pengamatan biota laut ke tubir.

Aku berhasil lihat bulu babi berjenis Diadema setosum, Nudibranchia, kerang-kerangan termasuk Anadara squamosa, Cypraea tigris, Pinna bicolor, Strombus urceus, dan Lambis lambis. Masih banyak lagi. Intinya, aku terpesona dengan kehidupan laut. Ingin rasanya mengeksplor lebih dalam, tapi sayangnya aku sama sekali tidak bisa renang. Dan lagi, aku sakit di tengah jalan.

Meskipun pengetahuanku tentang kehidupan laut hanya bertambah tidak lebih dari sepuluh persen, di sini aku mendapat pengetahuan lebih tentang bagaimana energi tidak dapat dimusnahkan tetapi dapat dikonversikan dan berpindah. Seperti halnya organism heterotrof lainnya, manusia mendapatkan energi dari organism autotrof seperti tumbuhan maupun makroalga hijau. Energi tersebut kemudian disimpan atau diolah menjadi energi berbentuk ATP yang digunakan untuk beraktivitas. Dan tanpa sadar, kita juga mengeluarkannya dalam bentuk aura yang bisa divisualisasikan dengan warna. Masing-masing warna aura menunjukkan karakter dan potensi individu yang berlainan. Dua orang temanku memiliki warna aura indigo dan ungu yang katanya merupakan warna aura yang paling spesial dan menunjukkan bakat yang berbeda dari kebanyakan orang. Diantaranya adalah kemampuan sixth sense sehingga mereka bisa melihat aura, masa depan, makhluk astral, sekaligus transfer energi antar individu.

Dan katanya, aku ini kuning dan hijau. Warna auraku untungnya normal. Tidak berselimut putih yang katanya menunjukkan sakit fisik yang luar biasa berat ataupun hitam yang menunjukkan harga diri paling rendah. Meskipun auraku agak sulit terbaca, tapi yaah kedua temanku ini dengan kompak mengatakan bahwa aku ini berkarakter dominan. Tidak cocok dengan orang yang sama-sama keras meskipun pada kenyataannya aku lebih menghargai dan nyaman untuk berada di samping orang yang lebih kuat dan dominan dariku sehingga bisa meredam kekuatan karakterku.

Lo itu ngga butuh orang lain untuk tumbuh dan berkembang. Prinsip dan pendirian lo ngga mudah untuk dipatahkan dan itu tercermin dari pandangan lo yang dalam, tanda lo selalu berpikir. Lo itu bahkan ngga butuh orang lain untuk menyemangati lo karena lo selalu berhasil memberikan asupan energi untuk diri lo sendiri.


Oke, itu sembilan puluh lima persen benar. Aku ini bukan tipe orang yang menggantungkan diri terhadap orang lain, terdidik untuk mandiri bahkan sejak umur satu tahun. Di saat anak-anak lain masih dengan nyaman berada di pelukan ibunda saat tidur, aku sudah punya kamar sendiri dan setiap malam aku dibiarkan tidur tanpa ditemani.
Lima persen salah.

Send to: AA. Umi Maidah Nursalmiyah
Umi, orang-orang bilang aku kuat dan mandiri. Orang bilang aku ngga butuh orang lain untuk berdiri tegak. Tapi aku ingin ada orang yang bisa meluk aku pas aku susah. Apa ngga akan ada, Mi, orang yang bisa mengayomi dan menyokongku di kala lunglai selain Allah dan Umi-Abi? Apa Umi pernah merasa begitu bahwa sepertinya sekitar tak acuh terhadap kita padahal kita peduli mereka?


Aku sebenarnya membutuhkan paling tidak seseorang selain Allah, dan Umi-Abi untuk aku bersandar meminta pengayoman. Dan yang kuharapkan adalah suamiku.

From: AA. Umi Maidah Nursalmiyah
Umi pernah begitu juga, tidak ada yang peduli dan tidak mengerti kita, menuntut kita. Tapi kalau kita berharap sama mereka, yang ada kita akan sakit hati dan akan makin kecewa. Jadi, husnudzan lah bahwa Allah sedang mengajarkan kita keikhlasan yang tinggi agar kita hanya berharap dan bergantung padaNya. Ketika kita bisa bebas tidak bergantung pada selainNya, maka Allah akan perlihatkan kebaikan-kebaikan yang tidak kita duga. Sabar dan tetap semangat. Jadilah orang yang baik bukan karena manusia, tetapi karena Allah.


Dan akhirnya, kegalauan ditutup dengan mata bengkak dan kulit yang kusam terbakar matahari.