November 06, 2013

SEPERTI FILSUF


Sekarang, aku ingin bercerita tentang Amri Mushlih. Entah ya? Jujur saja aku belum mampu jadi wanita shalihah yang menjaga jarak dengan laki-laki. Aku pribadi membagi makhluk Mars itu menjadi dua kelompok: cowok dan ikhwan. Oke, secara bahas dua kata itu sama-sama diperuntukkan untuk makhluk yang memiliki kromosom XY. Tapi di kamusku, cowok adalah sebutan untuk mereka yang masih hanif soal agama, sementara ikhwan untuk mereka yang kuanggap seharusnya lebih mengerti tentang hubungan lawan jenis dalam Islam. Beberapa orang mungkin menganggapku abu-abu, parsial, dan lain-lain. Tapi bagiku, ini fleksibilitas: kau tidak akan pernah bisa memperlakukan orang dengan rata, kau harus lihat seberapa jauh pemahamannya sebelum kau mengambil sikapmu atasnya. Seperti guru yang mendidik muridnya. Masing-masing anak punya pemahaman yang berbeda, akan salah ketika guru tersebut menerapkan hal yang sama dalam memperlakukannya. Itu prinsipku.

Oh oke, out of topic again. Sebenarnya bukan itu yang mau kubahas.

Aku suka berpikir asosiasi, membandingkan teori yang satu dengan yang lain. Klasik dengan modern. Fundamental dengan kontemporer. Dan kurasa, di antara sekian banyak teman-temanku, Amri Mushlih adalah salah satu orang yang punya frekuensi sama denganku sehingga pikiran kami cukup sering terkoneksi.

Di pertambahan umurku yang kedelapan belas tahun, ia memberiku buku. Dunia Sophie judulya. Buku tentang filsafat. Oh yeah~ aku akui, selama ini aku tidak pernah tertarik dengan hal-hal yang berbau sosial. Perlu digarisbawahi, pikiranku dulu mungkin masih sangat sempit sehingga otakku secara otomatis langsung menghubungkan kata filsafat dengan ilmu sosial. Dan aku salah besar, pada dasarnya sains modern juga berkembang karena para filsuf begitu sibuk mempertanyakan hal-hal dasar kehidupan.
Aku menolaknya sebagai hadiah dan ia hanya bilang, “Terserah kamu buku ini mau kamu apakan, disumbangkan ke perpustakaan boleh, dikasih ke orang lain juga boleh. Asal kamu janji untuk membacanya hingga dua atau tiga kali. Aku ingin kamu paham tentang pesan yang disampaikan.”

Oke, baru kali ini ada orang yang tidak tersinggung hadiahnya kutolak.

Baru kurang-lebih seratus lima puluh halaman kuhabiskan sepanjang hari ini dan ketika Amri Mushlih meneleponku pada jam sepuluh malam ini seperti biasanya, aku sudah bersemangat berbicara tentang filsafat.
Hal yang paling kusuka sejauh ini adalah bahwa seorang filsuf, bukanlah orang yang merasa bahwa ia sudah tahu segalanya sehingga ia mengajarkan orang lain dengan memberikan asumsi bahwa segala yang ia katakan adalah benar adanya. Tetapi filsuf, adalah seseorang yang tahu dan sadar akan ketidaktahuannya dan ia begitu memikirkan ketidakberdayaannya tersebut. Seorang filsuf, bukanlah mereka yang secara berlebihan mempertahankan pendapatnya, tetapi ia adalah orang yang selalu belajar dari pendapat dan sudut pandang manusia lain. Secara teori seharusnya begitu, tetapi praktikalnya manusia sering sekali menyimpang dari asas definisi.

Wow.

And you know what? Sadarkah kita bahwa gaya hidup serta berpikir orang Indonesia sudah jauh dari itu? Sehingga pendidikan kita lebih banyak bersifat satu arah dalam praktikal, bukannya dua arah yang bahkan Nabi Muhammad pun juga mengajarkan. Sadarkah bahwa pendidikan Indonesia berorientasi pada nominal bukannya nilai-nilai kebenaran yang seharusnya dipelajari dengan akal, diyakini dengan hati, serta diamalkan ke dalam setiap sendi kehidupan?
Bahkan orang yang mengakui dirinya taat kepada Allahpun, belum tentu memahami ini. Banyak dari kita yang menjalankan agama hanya karena memang peraturan agama mewajibkan seperti itu. Hanya karena orang-orang lain juga melakukan itu. Oke, kuberikan contoh. Mereka yang membayar zakat, hanya karena zakat itu merupakan rukun Islam keempat, sementara ia tidak mengerti alasan Allah menyuruh berzakat dan mensucikan harta akan lebih rendah kualitas imannya dibanding mereka yang membayar zakat karena mereka sadar betul tujuan Allah menyuruh hambaNya melakukan itu.
Sama seperti kita yang Islam hanya karena orang tua kita juga Islam. Akan berbeda dengan mereka yang terlebih dahulu susah payah mencari kebenaran dengan akal sehatnya untuk meyakini Allah serta Muhammad sebagai RasulNya. Bahkan, Allah pun menyuruh kita untuk senantiasa berpikir kritis sehingga jalan kebenaran akan berpendar terang benderang di hadapan kita.
Jika kita masih punya pikiran hanya menerima tanpa benar-benar paham dan meyakini adaya .. Lalu, apa bedanya dengan kawanan domba yang digiring begitu saja tanpa tahu arah ke mana mereka dibawa?
Sejatinya urusan agamapun seperti itu. Agama memang urusan keyakinan dan iman, tapi bukankah ia juga butuh landasan akal serta pikiran untuk menguatkan keyakinan tersebut? Meskipun memang pada akhirnya, ada hal-hal krusial tertentu yang akal manusia tidak dapat menjamahnya selain dengan keimanan tanpa syarat.

Dan aku cuma tersenyum saat Amri Mushlih bilang, “Cuma itu (pengetahuan dan pembukaan wawasan tentang filsafat) yang bisa aku kasih sebagai hadiah ulang tahunmu.”

Dan, aku suka sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar