Mei 15, 2013

Maksudku: Aku sudah merasa jauh


Aku merasa jauh. Dan itu salahmu. Titik.
Ya, aku memang begini.
Memang bukan tipe wanita penurut, baik-baik, dan sempurna.
Aku jauh dari itu dan salahmu datang padaku.
Benci.
Yang ada itu jadinya.
Aku membencimu. Jelas?

Pergilah


Kau tahu aku sakit. Dan masih saja menyuruhku diam. Ah, sudahlah. Cari saja orang lain. Aku bukan orang yang tepat.

Kau tahu aku rapuh. Dan terus saja membuatku pecah. Susah payah aku menyusun puing-puing yang berantakan.

Kau tahu aku sakit! Kau tahu aku rapuh! Pergilah!

Mei 12, 2013

SENYATA ITU


Aku mencintainya karena Allah, katanya sambil menangis sesenggukan di hadapanku.

Apa?
Aku juga seorang pencinta, dan aku marah mendengarnya. Kau tidak pantas mengatasnamakan cintamu denganNya. Tahukah kenapa? Maka dengarkan aku bercerita hingga akhir, sembari kau mereka-reka.

Dan aku juga yakin dia mencintaiku karena Allah, Han. Aku menatapnya dalam-dalam. Sungguh, Tuhan, aku mencintai gadis lugu di depanku ini. Seorang sahabat, yang kepadanya terkadang aku bersikap terlalu protektif. Dan kini, di bawah gumpalan awan pengisi luasnya langit yang semakin temaram, ia menangisi laki-laki itu.

Tahu dari mana ia mencintaimu karena Allah? Pandanganku berkata.

Iya, dia pernah bilang .. Kalimatnya terpenggal oleh sendu.

Lalu kamu percaya?

Iya, aku percaya.


Aku menghela nafas panjang dan memeluk tubuhnya yang terguncang hebat. Penyakit asmanya bisa kambuh kapan saja dan itu membuatku khawatir.

Kau tahu tidak, sayangku? Sebenarnya aku geram. Siapakah ia yang katanya mencintaimu karena Allah tega menyiksa perasaanmu seperti ini? Siapakah ia yang katanya menyayangimu karena Allah tega menjamah jiwa dan ragamu tanpa ikatan yang halal? Siapakah ia yang kau cintai karena Allah itu? Ia telah membuatmu berduka dan lupa segalanya hanya karena tidak ingin kehilangan dia, sementara ia membuatmu kehilangan Allah.

Sebab itu aku tidak ingin jauh darinya, Han. Tidak ingin. Biar, biar semesta alam memusuhiku, biar aku dihukum, biar saja. Aku hanya ingin satu hal. Dia. Ia menyeka sudut-sudut matanya dengan ujung jilbab hitam yang lusuh. Terpakai sudah segala jenuh untuk menghapus keluh hati sahabatku.

Cinta memang sering terlalu angkuh dan membutakan mata hati pemiliknya. Ia bisa saja menyihir segenap inderamu hingga telinga tidak lagi tajam mendengar suara selain suaranya. Hingga ingkarlah dirimu dari segala perintah, kecuali dari ia yang telah menundukkanmu.
Persis itulah yang terjadi pada suaraku saat itu, Kawan. Baginya, mungkin suaraku hanya seperti bising jangkrik tengah malam, atau kicauan burung saat menyambut pagi. Hanya penyemarak alam yang dengan cepat berlalu. Atau bahkan, jikapun kata-kataku bisa menyentuh relungnya dengan sebuah kejutan makna, kesanku hanya akan seperti halilintar. Sesaat menggelegar, menggetarkan. Akan tetapi, tidak lebih dari beberapa detik suaranya kemudian hilang tak berjejak.

Aku saat itu tidak lebih alim, tidak lebih suci darinya. Masih tertatih belajar menata perasaan. Meraba-raba bergerak menuju cahayaNya. Jadi, jika kau bertanya bagaimana seharusnya cinta karena Allah itu, maka jangan heran jika aku gagap tak kuasa menjawab. Lebih baik diam menutup mulut dengan rapat.



Waktu berlalu, tahun-tahun berganti angka. Sampailah kita di akhir Maret, yang menyambut datangnya April. Lima tahun sejak isak sahabatku mengering dalam kenangan.

Sudah sebulan kita bersama, kau ingat? Tingkahmu, tawamu, candamu, mereka seperti candu. Entah jenis apa, yang jelas kau membuatku menjadi hiperbolis. Lebih-lebih melankolis. Seperti pemain sajak, yang bahagia di tengah tarian kata dan metafora yang bersanding di panggung-panggung makna. Dan dengan anggunnya, kerlingan mereka menyulapku menjadi penyair sesungguhnya.
Aku tidak pernah minta, hanya saja kau datang tiba-tiba. Mengejutkanku dengan auramu. Dengan sosokmu yang sederhana, datang menyerahkan sepotong hati yang terbalut cinta. Katamu, itu punyaku.
Dan memang begitu. Cinta kenyataannya sungguh tidak punya sopan santun. Datang tanpa permisi, dan tidak sedikit yang pergi menyisakan luka.
Ada banyak hal yang membuatku sungguh-sungguh mencintaimu. Apa kau ingin tahu? Biar kusebutkan. Jangan menyelaku untuk berkomentar atau menyanggah, nanti aku lupa.

Aku menyukai tegasnya sikapmu dalam memilih.
Aku menyukai sorot matamu yang dalam ketika menatapku.
Aku menyukai caramu memercayaiku, lebih dari yang kukira.
Aku menyukai caramu meminta kejujuranku.
Aku menyukai caramu memberiku kesempatan berbicara, sebelum kau akhirnya memutuskan langkah.
Aku menyukai caramu menasihatiku, yang lembut tapi berwibawa.
Aku menyukai jiwamu yang optimis, pasrahmu pada Allah. Bahwa atas segalanya, Allah pasti memberikan jalan keluar.
Aku menyukai kalimat-kalimatmu, yang mengingatkanku bahwa: jangan pernah mencintai apapun lebih dari cintamu pada Allah
Aku menyukai lapangnya hatimu saat tertawa dan ditertawakan.
Aku menyukai binar di wajahmu ketika kau bercerita tentang hal-hal yang kaupelajari
Aku menyukai tegarnya kau dalam menghadapi setiap cobaan di hidupmu.
Aku menyukai caramu membangunkanku di suatu pagi. Yang menunjukkan kau peduli tingkat tinggi.
Aku menyukai bacaan Qur’anmu yang kudengar setiap habis maghrib.
Aku menyukai caramu menjagaku. Dalam doa di setiap sujud. Dan aku berterima kasih atasnya.
Aku menyukai caramu memastikan aku baik-baik saja. Memastikan ada seseorang yang bisa memelukku ketika aku merasa sendirian. Sebelum kau bisa melakukannya sendiri, katamu.
Aku menyukai caramu menegurku. Mengena, tanpa menyakiti.
Aku menyukai gayamu yang sederhana, pandanganmu tentang Islam, dan visi-misi hidupmu untuk menaklukkan dunia.
Aku menyukai pandanganmu tentang Muhammad. Bahwa kau menjadikannya teladan, dan keinginanmu untuk mencontohnya dengan sempurna.
Aku menyukai dan betul-betul menghargai keinginanmu untuk menjadikan cintamu seperti cinta Ali dan Fatimah.
Tapi aku membenci caramu membuatku merindu akan semua hal itu.


Malam ini sungguh, jiwaku sesak. Air mataku jatuh dan yang dapat kuingat hanya tentangNya.
Bahwa aku sudah menghabiskan malam demi malam untuk bersamamu. Ketika di saat yang sama, aku seharusnya bisa lebih mengingatNya.
Bahwa aku telah menggadaikan mataku atas nama cinta untuk dapat melihatmu dan menyentuh dalamnya perasaan lewat tatapanmu.
Bahwa aku telah membuatNya marah dan cemburu sehingga kini Ia menjauh dariku. Dan aku merasa begitu lelah. Lelah untuk membuatNya jauh lebih murka.

Lalu dengan tekad yang bulat dan hati yang tenang, aku menyerahkan segenap perasaan untukmu pada Zat yang kuasaNya mengatur seluruh alam. Yang kuasaNya mampu menggenggam dan membolak-balikkan hati. Yang kuasaNya meliputi seluruh kehidupan: lampau, kini, dan masa depan.
Maka kutitipkan sepotong hati bertuliskan namamu malam itu. Dengan air mata ikhlas tulusku sebagai pengantarnya. Aku, untuk pertama kalinya, tidak takut untuk kehilangan cinta.



Jadi, sudahkah kau temukan jawabnya, Kawan? Dua kisah itu bercerita tentang perbedaan. Antara yang hakiki dan yang semu. Semua cinta adalah atas izinNya, tapi sedikit saja yang hadir karenaNya.
Senyata itu, sejelas itu mereka berbeda.

Mei 07, 2013

MAKA KENALKAN, AKU SEIZU. DALAM BAHASA IBUKU, ARTINYA SANG PENCEMBURU.




“Aku melihat dan memerhatikanmu. Ada gaya tarik di senyum dan geliatmu.
Kau cerdas, kau penuh semangat.
Semua pria bisa saja jatuh hati.
Ada wanita yang jauh dari itu membencimu. Iri pada sosokmu.
Entah kapan bisa menjadi sepertimu. Yang sepertinya tanpa beban.

Aku mengenalmu. Berbulan-bulan lalu, di suatu November. Kala itu kau masih terlihat biasa saja. Tidak lebih rapi dariku. Tidak lebih idealis.
Kau di mataku, masih biasa saja.
Kini penghujung Maret dan aku risau. Cemburu padamu. Kebas melihat sikapmu. Gerah, bahwa kau telah menawan seseorang sebelum aku.
Kau mungkin masih ingat, tapi juga tidak.
Aku memang tidak cukup berharga untuk dikenang. Dan tidak pula cukup bernilai untuk dikenal. Tidak seperti kau. Yang sepertinya semua orang ingin di dekatmu.

Jika kau matahari baginya,
Aku ini hanya satu di antara kumpulan asteroid dekat Jupiter itu.
Satu di antara kepingan planet mati.
Tanpa cahaya, apalagi gravitasi.
Jutaan kali lebih kecil, lebih tak berdaya, lebih tak bermakna.

Kau menoreh suatu luka, yang jika tersentuh untuk diobati
Malah terbuka menganga
Sebab namamu di hatinya, sulit terlupakan
Penyebab ringkihnya aku dan rentanya namaku
Aku berpijak pada hati yang dipesonakan auramu
Sehingga sisa-sisa cahayaku menjadi sungguh remang
Muram seperti durjana malam yang menghitam kelam

Hai kau, kenalkan,
Aku ini wanita tanpa wajah. Datar dan tak hidup. Seperti padang pasir di tanah Afrika. Tempat kelahiran orang-orang yang ditakdirkan hidup terlunta-lunta.
Aku ini wanita tanpa kehormatan. Semua orang menatapku layaknya sampah. Dan tempatku ... hanya di sudut ini. Pojok di mana pandanganku melesat padamu, menancap fisikmu dalam bayang kasat mata imajinasiku. Tempatku ingin menerkammu. Dan mati bersama perasaan buas lagi puas.

Maka kenalkan, aku Seizu. Dalam bahasa ibuku, artinya Sang Pencemburu.”


Bukan, surat kecil itu bukan untukmu. Adalah untuknya: Wanita yang menyandarkan lelapnya di pundakmu.

Lelaki itu: Kau lagi



Ivanovich Lawrean. University of Zurich.
Dia lagi.


22 Februari
Aku rasa aku salah masuk forum. Di sini membosankan. Membuat jengah. Dan mereka hanya beradu pendapat tanpa tentu arah. Hei, presidium, Anda membutuhkan wibawa lebih dari itu untuk menenangkan mereka. Pinjam saja suara petir yang menggelegar jika betul-betul tak sampai.
Aku tertawa saja. Ironi. Sungguh sayang, waktuku terbuang sia-sia. Begitu juga dengan ..uangku.
University of Kent. Derrick Manhattan. Dia sekarang sedang mengajukan pendapat tentang penundaan acara. Oh tidak, pikirku, jangan bilang aku harus pulang dengan tangan kosong, perut lapar, dan hati yang kesal.
George-August Universitat. Sebastian Ballack. Orang ini sudah berbicara berpuluh-puluh kali. Dan mengutarakan hal yang sama. Penuh arogansi. Mungkin karena budaya Jerman yang berdisiplin tinggi, dia jadi sangat murka dengan pelayanan panitia acara. Oh jujur, aku juga kecewa. Tapi bisa tidak jika dia mengatakannya dengan nada yang lebih lembut?
Dari sekian banyak kontingen universitasku yang terdaftar, hanya aku yang bernasib sial kali ini. Mereka boleh saja tersesat seharian di Milan sehingga terlambat menghadiri acara sialan ini yang jaraknya berpuluh-puluh kilo dari pusat kota. Tapi setidaknya mereka tidak terperangkap dalam ruangan penuh orang-orang sombong yang saling bersilat lidah. Jika saja aku bisa berapparate seperti Harry Potter, sungguh beruntung aku.
University of Singapore. Christian Hans. Entah dia berbicara apa, mungkin sama intinya seperti yang dibilang Manhattan dan Ballack. Ini dapat dengan mudah terbaca, ada dua kubu. Kubu panitia dan kubu kontingen forum. Satu menyerang, satu bertahan. Membela diri dan memaksa agar acara tetap berjalan.
George-August Universitat. Sebastian Ballack. Dia hanya membenarkan Hans. Sudah kubilang khan? Tumben dia tidak banyak omong.
Matahari di luar sudah agak mendung. Sebentar lagi rinai hujan akan menari di tengah kuncup-kuncup bunga yang menunggu mekar. Satu bulan lagi mungkin, kota ini akan indah berhiaskan warna bunga-bunga. Kuning, jingga, merah, ungu, semuanya. Andai saja visaku tidak punya masa berlaku .. aku mungkin akan menghabiskan waktuku di sini berbulan-bulan.
Seorang pria berdiri. Tepat menghalangi arah pandangku ke jendela. Susunan tempat duduk di ruangan ini bundar. Dan pria itu, tepat menghadapku.
Ivanovich Lawrean. University of Zurich.
Apa? Coba ulangi. Ivanovich Lawrean. Ketua Riset dan Teknologi.
Apa? Aku sejak lama menjadikan lembaga mahasiswa yang dipimpinnya sebagai objek idealisme.
Tiba-tiba ruangan ini terasa begitu sempit. Dan jarak yang memisahkan meja kami menjadi semakin pendek. Sungguh tidak menyangka bisa bertemu.
Pria itu biasa saja. Sama seperti presidium forum, tidak berwibawa. Tapi entah, sepertinya dia punya magnet berukuran besar yang bisa menarik perhatianku. Atau mungkin dia punya sistem gravitasi sendiri.
Sesungging senyum lebar menghiasi wajahnya setelah berkata sesuatu. Aku tidak mendengarkan. Terlalu fokus dengan hal abstrak yang melekat pada sosoknya. Dan senyum itu .. senyum kekanakan itu menjawab pertanyaanku bahwa mungkin ia memang punya gravitasi sendiri.
Anehnya, saat itu pikiranku masih saja bisa berkata gengsi, “Oh, jadi ini ketuanya? Kualifikasi standar.”

Masih ruangan yang sama. Kelanjutan acara dari yang sempat tertunda beberapa bulan lalu. Dan ia, masih saja dengan senyum kekanakannya yang kalau dilihat sekilas cukup manis. Baiklah, aku mengakuinya. Hujan yang sama yang turun di langit kota ini resmi kunobatkan jadi saksi.


25 Maret
Pria itu lagi. Kami berada satu barisan. Berjarak enam kursi. Menambah berisiknya diskusi sosial politik di forum ini, suara-suara di kepalaku berebutan bicara, “Bukankah itu dia?”
“Ya, ya benar dia!”
“Untuk apa di sini?”
“Nyasar sepertimu, mungkin.”

Dan semakin berisik saat pandangan kami bertemu tak sengaja. Tertarik pada satu titik gravitasi kasat mata di tengah-tengah kami.
Deg.
Ah, biasa saja.

27 April
Riuh rendah sorak sorai ribuan orang di balai tempat kami berkumpul dalam olimpiade internasional. Entah apa lagi yang mendorongku untuk mengikuti acara-acara semacam ini. Aku rasa-rasanya sedang jatuh cinta pada keramaian dan teriakan. Ribuan suara memekik nyaring, bersatu padu meneriakkan almamater masing-masing. Euforia ini seperti candu. Semakin dihisap, hasrat melakukannya lagi semakin besar.
Dari arah barat kami, serombongan orang datang. Dengan semangat yang menyala-nyala menggentarkan siapapun yang mendengar. Satu orang sebagai pemimpin vokal, yang lain mengikuti komandonya.
Orang itu .. Oh mungkin lebih tepatnya pria itu. Itu dia.
Deg.
Dia melihatku. Dan aku berpaling.
Waktu bergulir dan aku tidak tahu apakah interval itu berbentuk detik atau menit. Tapi lagi-lagi, pandangannya padaku.
Benarkah padamu?
Oh sudahlah, aku tidak peduli.

Di persimpangan jalan menuju ruangan sebelum acara dimulai, seseorang menyilang di depan jalanku.
Ivanovich Lawrean. Pria yang sama.
Lagi untuk kesekian kalinya.
Deg!
Pandangan kami bertemu. Untuk sebuah alasan abstrak yang wujudnya hingga kini masih berdasar terka.

Mei 05, 2013

Kau mau tahu?


Kau mau tahu apa yang kurasa?
Sudahlah.

Kau mau tahu apa yang kurasa?
Entahlah.

Kau mau tahu apa yang kurasa?



Mau tahu?
Tanyakanlah pada garis senyumku yang melingkarimu.
Tanyakan mengapa ia tak hentinya menghiasi wajahku kala ada kamu.
Tanyakanlah pada air mata dalam sujudku.
Tanyakan untuk apa ia jatuh membasah.
Tanyakanlah pada sorot mata yang tak mampu memandangmu.
Tanyakanlah pada bibir yang terkatup tak mampu berkata.
Tanyakan mengapa aku begitu malu.
Tanyakanlah pada cicak-cicak yang menyaksikan kesendirianku di ruangan itu.
Tanyakan siapa yang kuharap datang menemaniku.
Tanyakanlah pada daun-daun gugur yang menyangsikan kekuatanku dalam penantian.
Tanyakan padanya apa yang kunantikan.
Tanyakanlah pada rinai-rinai hujan yang mengaburkan jejak tangisku.
Tanyakan padanya tentang usahaku menghapus kesedihan.
Tanyakanlah pada jarak yang memisahkan.
Tanyakan padanya tentang arti kedekatan.
Tanyakanlah pada air yang mensucikanku dalam bermunajat.
Tanyakan padanya siapa yang kudengungkan.
Tanyakanlah pada ayat-ayat yang gemanya sampai ke relung jiwa tempatmu berada.

Tanyakanlah pada Penciptaku.
Dia tahu segalanya. Tahu segalanya.

Mei 03, 2013

Penolakan


Sejenak mari kita berlindung di balik sudut. Untuk menghilang dari penjelasan penuh belit.
Serta menenangkan hati yang larut dalam emosi.
Dan berpikir ulang mengenai kita dan dunia.

Kau tidak bisa menjanjikan apa-apa, begitupun aku.
Tapi sungguh kejam, ketika kau hanya menyisakan robekan luka.
Yang sekarang susah payah kujahit dengan sisa-sisa tenaga.
Tenagaku untuk mencintaimu.

Aku merasa ada penolakan.
tidak menduga gaya penolakanmu akan timbul secepat itu.

Mei 01, 2013

Ya Allah, Izinkan Dia Untukku! (1)


Ya Allah, aku berdo'a untuk seorang pria yang akan menjadi bagian dari hidupku.
Seorang yang sungguh mencintaiMu lebih dari segala sesuatu.
Seorang pria yang akan meletakkanku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau.
Seorang pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untukMu.
Wajah ganteng dan daya tarik fisik tidaklah penting.
Yang paling penting adalah sebuah hati yang sungguh mencintai dan haus akan Engkau
dan memiliki keinginan untuk menjadi seperti Engkau
(meneladani sifat-sifat agungMu)
Dan dia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup, sehingga hidupnya tidak sia-sia.
Seseorang yang memiliki hati yang bijak, bukan hanya otak yang cerdas.
Seorang pria yang tidak hanya mencintaiku tetapi juga menghormati aku.
Seorang pria yang tidak hanya memujaku
Tetapi dapat juga menasihati ketika aku berbuat salah.
Seseorang yang mencintaiku bukan karena kecantikanku tetapi karena hatiku.Seorang pria yang dapat menjadi sahabat terbaikku dalam setiap keadaan dan situasi.
Seseorang yang dapat membuatku merasa sebagai seorang wanita ketika berada di sebelahnya.
Aku tidak meminta seorang yang sempurna.
Namun aku minta seorang yang tidak sempurna,
Sehingga aku dapat membuatnya sempurna di mataMu.
Seorang pria yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya.
Seorang pria yang membutuhkan do'aku untuk kehidupannya.
Seseorang yang membutuhkan senyumanku untuk mengatasi kesedihannya.
Seseorang yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna.
Dan aku juga meminta:
Buatlah aku menjadi seorang perempuan yang dapat membuat pria itu bangga.
Berikan aku sebuah hati yang sungguh mencintaiMu, sehingga aku dapat mencintainya dengan cintaMu, bukan mencintainya dengan sekadar cintaku.
Berikanlah sifatMu yang lembut sehingga kecantikanku datang dariMu bukan dari luar diriku.
Berilah aku tanganMu sehingga aku selalu mampu berdo'a untuknya.
Berikanlah aku penglihatanMu sehingga aku dapat melihat banyak hal baik dalam dirinya dan bukan hanya hal buruk saja.
Berikan aku mulutMu yang penuh dengan kata-kata kebijaksanaanMu dan pemberi semangat,
sehingga aku dapat mendukungnya setiap hari,
dan aku dapat tersenyum padanya setiap pagi.
Dan selalu memberikan semangat untuknya.
Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu,
aku berharap kami berdua akan mengatakan
"Betapa besarnya Allah itu karena Dia telah memberikan kepadaku seseorang yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna."
Aku mengetahui bahwa Engkau menginginkan kami bertemu
pada waktu yang tepat dan Engkau akan membuat segala sesuatunya indah pada waktu yang Kau tentukan.


- halaman 67 --70

Book Fair!


Ya, mulai hari ini sampai tiga hari ke depan di kampusku ada book fair, bahasa kerennya pameran buku. Lebih tepatnya Islamic Book Fair, yang menyelenggarakan adalah teman-temanku dari SalamUI. Ceritanya, beberapa minggu yang lalu saya sudah berazzam. Bahwa saya akan menyisihkan sebagian dari uang bulanan saya untuk membeli buku setiap bulannya. Selain itu, preferensi buku saya berubah: tadinya menyukai novel dan buku-buku sastra, sekarang bertambah. Saya sedang berusaha menambah ilmu agama melalui buku. Masa mau jadi seorang ibu yang cerdas tapi ngga paham agama? No way, saya harus lebih rajin beli dan baca buku-buku islami mulai dari sekarang.

Alhasil, semata-mata karena tekad dan kecintaan saya terhadap buku, maka saya menyempatkan diri ke balairung pada pukul empat sore sebelum pulang ke Bogor.

Ditemani oleh Desi Pertiwi dan Yuniaty Afrieny saya berkeliling. Awalnya selalu begitu, sweeping. Atau kalau bahasa biologi kerennya: habituasi. Hehehe. Kemudian baru benar-benar memilih buku.

Ah, saya betul-betul jatuh cinta dibuat mereka. Mereka? Iya, buku-buku itu. Sampai saya bingung mau pilih yang mana.