Desember 25, 2012

Payung Rasa


Sudikah kau bersabar, dengan rasaku yang seperti musim?
Silih berganti. kemarau yang kering Penghujan yang basah.

Bila tidak, belilah payung di toko sebelah.
Tinggallah di sana.
Biarkan payungmu terus baru.


-karya Muhammad Dirgantara "Merentang Pelukan" 2012

Hidup dan Mati


Yang mati di hatimu ialah yang akan hidup di kepalamu
rerumpitan dan kumpulan padi menguning mencatatnya sebagai kesakitan.

Hidup adalah perjuangan melawan kematian,
sementara kematian adalah tubuh-tubuh lelah yang kaupinjam.
Wawktu telah menjelma sebagai jubah kasat mata.

Jika detik berganti detak kau tak bisa mengelik dan mengelak.
Kau telah menjadi bagian dari hidup dan matinya.

Diam-diam aku masuk ke dalam hidupmu
perlahan-lahan menyusuri nadimu, jantungmu
atau ke mana saja-asal ia tetap berada di tubuhmu.
Aku mencatatnya sebagai rindu.

Aku menyimpan peluk hangatmu, jauh merasuk hingga menuju ingatan
jangan kautanya mengapa rindu itu terus ada dan terus bertambah,
jika kau tak ingin untuk meleburnya.

Yang mati di hidupmu ialah yang akan hidup di hatimu.
Senja sore memberitakannya sebagai kenangan.


-karya Rangga Rivelino "Merentang Pelukan" 2012

Kepalaku Perekam yang Baik


Kepalaku perekam yang baik ia seperti mesin yang canggih meski ia tengah berada di antara jutaan kamera digital. Ia dapat merekam segala momen penting atau pun kata-kata hingga tak terhingga.

Namun lagi-lagi aku si pelupa yang tak terlupakan, mengingatmu setiap pagi agar aku dapat melupakanmu. Kali ini, usahaku sia-sia. Ia masih perekam yang baik.

Tak perlu kautahu seberapa banyak aku berdoa untukmu, kau cukup mengaminkannya agar Tuhan mau menjentikkan jariNya-lalu hilang segala nyeri di dada kita. Kautahu, rindu-rindu ini makin membangsat dan tak tahu diri.

Aku tak pernah meminta jika mencintaiku sebuah kewajiban, aku hanya ingin rinduku diperlakukan layak. Kepalaku ini perekam yang baik. Berbaik hatilah dengannya dan hati-hati.


-karya Rangga Rivelino "Merentang Pelukan" 2012

Tentang Menemukanmu


/1/

Aku menemukanmu, seperti jangka
yang berputar.
Hatiku tertancap di satu titik, dan senyummu
melingkariku.

/2/

Aku bermimpi menemukanmu
di sebuah jalan buntu
dan hati tiba-tiba
membangun persinggahannya di situ.

/3/

Aku selalu menemukanmu
saat pada guling lenganku melingkar
dan tidur.
Dan mulai mencarimu
di sudut senyuman
yang berjalan mundur.


-karya Andi Wirambara "Merentang Pelukan" 2012

Aku tertambat, terikat


Seharusnya sekarang gue sedang belajar. Ya, dalam hitungan jari beberapa jam lagi aku akan berada di laboratorium praktikum Keanekaragaman Hewan dan berpikir keras. Nyatanya, aku di sini dan tertambat lagi. Mengunjungimu.
Hanya berharap kereta nanti siang tidak telat mengantarku ke gerbang neraka itu. What the hell!

Desember 15, 2012

Hujan Tak Lagi Hangat


Langit sore mendung. Tapi pertandingan masih saja belum mulai sementara waktu bergulir cepat. Nara memandang lapangan berumput dengan dua gawang di seberang. Hijau dan agak berembun, sisa hujan tadi siang. Tanah yang ia pijak liat. Penuh dengan bekas injakan tapak orang. Awan, harus sampai kapan aku di sini?
Sudah satu jam. Hujan mulai turun. Lagi. Deras membasahi topi gembala merah muda yang ia pakai dan membuat ubun-ubun kepala basah detik berikutnya. Orang-orang berlarian mencari tempat berlindung dan beberapa dengan santai membuka payung dari lipatannya. Sekumpulan kodok hijau keluar dari persembunyiannya menari menikmati nyanyian hujan. Sementara ia berdiri kaku di bawah rinai hujan. Basah. Rana bergeser dari tempatnya semula ke bawah pohon yang cukup rindang. Sebuah tempat yang salah untuk berlindung dari hujan karena resiko tertimpa jika pohon itu tumbang sangat tinggi. Ia menyesal karena menolak saran Ibu untuk membawa payung hari ini. Ia pikir, hari ini akan cerah. Secerah hatinya yang bahagia karena akan bertemu dengan seseorang yang Nara rindu senyumnya. Tapi ternyata, hari ini adalah penantian panjang untuknya.

Matanya terpaku pada sepasang muda yang bergandengan tangan erat. Berlari bersama mencari perlindungan dari titik hujan. Tangan mereka berada sejengkal di atas kepala. Usaha yang teramat sia untuk mencegah hujan jatuh membasahi diri.
Dulu, Nara pernah mengalami itu. Hanya sedikit berbeda. Dulu, dengan jemari yang saling menggenggam erat ia dan Rases menerjang hujan. Jaket hitam bergaris abu-abu milik Rases basah dan gagal melindungi kepala mereka. Terkadang mereka berhenti berlari dan berlindung di bawah pohon yang berdiri mencengkeram tanah. Mengatur nafas yang terengah dan kembali mengambil langkah sambil berharap hujan ini segera berhenti. Saat itu dingin, tapi hati ini rasanya hangat. Dan ketika Nara menggigil, Rases segera memeluknya dan segera saja dingin itu menguap.
Sebenarnya, bisa saja mereka naik angkutan umum yang banyak berlalu-lalang. Tapi hari itu, jumlah uang yang ia dan Rases gabungkan berdua hanya cukup untuk membeli tiket kereta yang membawanya pulang ke kota.

Siang itu, ketika udara memanas dan rasa lapar mendera, mereka berdua hanya mampu membeli sebungkus roti rasa cokelat murahan yang banyak dijual di pinggir jalan. Itupun harus dibagi dua. Berkali-kali Rases mengucap maaf. Menyesal atas kekurangan finansial hari ini.
”Maaf. Lain kali tidak begini.”sesal Rases, menggenggam tangan Nara. Memandangi gadis mungil yang dengan lahap menghabiskan sepertiga bagian roti. Nara cepat-cepat mengunyah dan mendorong roti dengan segelas air mineral dingin.
”Tidak apa.”ucapnya, sementara tangan Rases sigap membersihkan mulutnya dari remah roti. ”Aku bahagia.”
Dua pasang mata yang memancarkan damai itu saling menatap. Lembut, penuh rasa sayang. Dan dengan jemari yang tergenggam erat, mereka berjalan melintas hari beriringan.
Tuhan, aku sadar hari itu tak akan pernah lagi terulang.

Seseorang menepuk Nara dari belakang. Membuatnya tersentak dari lamunan. Air mata di pelupuk batal jatuh.
Rases.

Senyumku merekah. Payung di tangannya kini menaungiku. Tapi aku terlanjur basah. Aku memandangnya, berharap melihat senyuman yang sama seperti yang kulihat sebelumnya.
Tapi ada yang terasa berbeda. Kedamaian yang memancar itu lenyap. Jemarinya tak lagi menggenggamku, meski keadaan ini sama seperti dulu. Tak lagi hangat. Ada beda di sorot matanya. Ada yang hilang.
Aku gemetar, menahan gemeletuk rasa dan dingin yang menyergap. Tapi tak ada lagi tangan yang mendekapku kini.
Langit, sungguh hatiku kini banjir kesedihan. Sungguh hatiku sekarang hujan.
Sudah sebulan ini aku dan Rases terus-terusan bertengkar. Rases yang memintaku untuk mengerti akan kesibukannya dan aku yang sadar kalau dia berubah sikapnya terhadapku menuntutnya dengan kata-kata.
Kami tertekan, kami berubah. Rases yang dulu perhatian, Rases yang dulu selalu bertutur lembut padaku dan membuatku merasa spesial di dekatnya ..
Tapi lagi-lagi, itu dulu. Sekarang berbeda.
Dan aku merasa lelah. Sekarang aku tahu, alasan mengapa harus ada kata ’dulu’ dan ’sekarang’. Aku mengerti mengapa dalam tata bahasa inggris ada ’present tense’ dan ’past tense’. Ya, karena apa yang terjadi dulu dan sekarang memang berbeda, tak pernah sama. Bahkan, di tiap detik waktu yang berlalu kejadian yang terjadi tak pernah benar-benar sama.
Omong kosong dengan de javu.

Desember 06, 2012

Semburat Penari Musim Hujan


Sejujurnya, aku lelah. Aku di sini sejak beberapa jam yang lalu dan kau belum juga datang. Awan semakin gelap kelabu, berbicara padaku dengan muram. Aku biasanya bisa melihat mentari, tapi kini ia bersembunyi. Tanpa cerah, tanpa senyum, ia meninggalkanku yang kalut.
Ah, mengapa kau belum juga datang?

“Kau belum makan?” Ibuku datang tanpa mengetuk. Suara dinginnya membius dimensi ruang tempat kami berada. Biasanya aku akan sangat merasa terganggu, tapi tidak dengan kali ini. Aku hanya meliriknya sekilas dengan lesu, memandang udara tanpa warna didepanku. Menjejak kembali penantian.
“Bisakah kau tidak diam? Ibu sedang di sini.” Suaranya menegas dan aku tetap bergeming. Entah apa yang ia pikirkan, aku juga tidak peduli. Bagiku saat ini aku hanya butuh ia yang kutunggu.
“Kau harus makan, Kasih. Sudah semakin kurus kering tubuhmu. Orang-orang yang melihat tak sampai hati.”Bujukan klise. Salah besar ia jika menyangka aku akan menurut.”Setidaknya kau harus minum. Kau bilang kau cerdas? Sadarkah kau merusak ginjalmu?!”
Hari itu ia tutup dengan nada tinggi.

Ya, aku memang mahasiswa kedokteran. Ralat, aku pernah menjadi mahasiswa kedokteran sebelum aku memutuskan untuk menetap di sini. Ibuku saat itu marah besar. Memakiku bodoh untuk pertama kalinya karena aku lari dari masa depan. Dia tidak tahu saja bahwa ia dan mereka yang lebih bodoh dariku. Menyiakan keindahan alam, mengejar dunia hingga terengah-engah. Bermimpi mendapatkannya meskipun tahu sejatinya tidak akan bisa.
Bagiku, menjadi dokter bukan apa-apa. Aku hanya ingin bersama dia. Dia yang selalu kutunggu. Setiap saat, setiap detik waktuku.

Kau tahu seperti apa rasanya jatuh cinta? Sepenuhnya aku bisa merasakan. Malam yang indah penuh bintang harusnya terasa indah menemani kesendirian, bukan? Bagiku tidak. Alasannya sederhana, karena ia tak ada. Meskipun bintang-bintang itu berkelip menggodaku, rasanya tetap hampa. Tetap gelap, layaknya gerhana. Bahkan deburan ombak yang membahanapun tak sampai suaranya. Tetap hening di telingaku, hanya karena ia tidak ada.

Senja di kala itu menjingga. Kian lama semakin merah. Aku bersemu dan rasanya berbunga. Meskipun sudah seminggu kau juga belum datang, aku masih yakin kau akan muncul di depan jendela kamarku sambil menyapa. Bukankah memang sudah begitu sejak aku tahu maknamu?

Aku yakin kau akan datang.
Yakin kau akan datang.
Kau pasti datang.

Diamlah. Kau bikin aku lelah.


Kenapa sih aku mudah menangis?
Menangis hanya karena dia yang (mungkin) tidak lagi menyukaiku. Oh, sebegitu pentingkah ia? Orang yang bahkan belum tentu jadi suamimu.


Sebegitu pentingkah ada orang yang menyukaimu, Kasih?
Kalau kau pikir tidak, hapus air mata itu dan pulanglah dengan senyum.
Kalau kau pikir ya, silakan ratapi perasaanmu seperti yang dicontohkan lagu-lagu bodoh di negerimu dan bergabunglah dengan mereka yang kau pikir bodoh. Tapi, maaf, aku tidak punya film korea atau apapun yang bisa membuatmu berhenti menangis sendu.
Dan aku muak!
Kenapa kau selalu menangis?



Diamlah. Kau bikin aku lelah.

GELD. GELD. GELD!


Baru-baru ini, bukan hanya Garut tetapi seantero Indonesia diributkan oleh kabar dari Bapak Entah-Siapa-Namanya -saya rasa itu bukan sesuatu yang penting, terkait skandalnya selaku Bupati Kabupaten Garut bersama seorang remaja putri.
Ya, lagi-lagi kasusnya klise.
Kekerasan dalam rumah tangga. Pelecehan hak asasi perempuan. Apa lagi?
Pelecehan pernikahan.
Setelah melayangkan gugatan lewat jalur hukum, kini keluarga dari pihak wanita merasa bisa memaafkan perbuatan tak bermoral Bupati.
Hal pertama yang muncul di benak saya adalah:
Atas dasar apa bisa memaafkan setelah semua pelik yang terjadi?
Bahkan sudah sampai membawa pengacara.
Dan seperti yang sudah biasa terjadi pula. Ternyata hanya soal uang.
Rasanya aku ingin tertawa sampai mati.
Apa ngga malu ya keluarganya? Aib sudah dibawa-bawa sampai nasional begitu dan terselesaikan dengan kucuran kertas yang dicetak berwarna disertai nominal.
Aku sudah terbahak nih. Mungkin sebentar lagi akan tersedak dan menangis, as usual. Itu memang kebiasaan.
Tapi untuk sekarang, aku tidak yakin tangisku ini karena sedih atau karena hal itu terlalu lucu.

Sebenarnya untuk apa uang?
Yah, harus kuakui, tidak punya uang itu tidak bagus. Susah melakukan aktivitas. Bahkan untuk tidur(pekerjaan paling kusuka sekaligus termudah yang pernah kutemui seumur hidup)pun susah! Aku pernah mengalaminya dan itu amat menyiksa.

Ia juga bisa membuat menusia terpaksa merusak lingkungan. Aku tadi baru saja menonton film di kelas Pak Dimas Haryo Pradana tentang konservasi hutan dan ya, mereka itu .. orang-orang yang akalnya pendek melakukan illegal logging hanya demi uang. Untuk kehidupan mereka di dunia yang sebentar lagi juga akan kiamat.
Seandainya aku jadi mereka, hidup di pedalaman terpencil di dataran Afrika sana, aku akan memilih untuk bertahan sambil mendekatkan diri dengan Tuhan. Berpikir tentang alam dan penciptaan hingga akhirnya mati kelaparan saja. Sungguh. Untuk apa memperjuangkan kehidupan yang kau tak tahu akan bermanfaat bagi orang banyak atau tidak?

Tapi, aku bukan tipikal manusia yang memuja uang. Berkat didikan malam-malam panjang bersama cerita Qarun Si Manusia Tamak aku bisa bertahan tanpa uang. Meskipun cuma beberapa hari.
Toh, matipun kau hanya bawa kulit, tulang, dan daging, Kawan.
Itupun akan hancur seiring gulir waktu kehidupan.


........

....

..

Oh, hentikan.


Aku jadi berpikir ulang. Bisa jadi aku juga akan berbuat begitu jika berada di posisi mereka. Baiklah, kurasa yang bisa kulakukan saat ini hanyalah bersyukur dan berdo'a. Sudahi umpatan dan ejekanmu itu, Kasih. Kau belum tentu lebih baik dari mereka.
Jadi,
terima kasih, ya Allah, untuk telah mencukupkan keluargaku dan keluarga-keluarga yang lain di seluruh dunia dengan rizkiMu.
Terima kasih, ya Allah, untuk telah melindungi kami dari perbuatan-perbuatan buruk yang merusak selama kami memulai perjalanan kami di duniaMu.
Terima kasih, ya Allah, untuk telah menjauhkan kami dari pundi-pundi tak halal yang bisa membuat kami berada jauh dariMu.
Terima kasih, ya Allah, untuk setiap tetes hujan dan segala anugerah serta rizki yang Engkau curahkan melalui sayap-sayap MikailMu.
Semoga Engkau tetap berkenan merahmati kami, mengasihani dan menyayangi kami sebagai makhlukMu.


Wahai Zat Yang Maha Pemberi, ingatkanlah kami untuk tetap mencintaiMu lebih dari apapun termasuk pundi-pundi berharga itu,
bisikku.

Oh, ya Tuhan, aku menangis ..


Munir dan Muhammad di Kamp Pengungsi Maghazi

Munir dan Muhammad,

Terima kasih sudah mengangkat teleponku ketika hendak mengobrol dengan ayah kalian. Dia sungguh sibuk sekali, memantau situasi di jalanan gaza dan melaporkannya ke seluruh dunia.

Aku senang mendengar suara kalian tertawa cekikikan di telepon. Rasanya lega juga, ada anak-anak Palestina yang masih bisa tertawa. Sungguh sebuah hiburan yang menentramkan di tengah impitan derita yang tak jelas ujungnya.

Oh ya munir, kata ayahmu, engkau rajin sekali memantaukan berita di televisi untuknya. Anak hebat dirimu. Tetap kuat di tengah suasana yang mencekam seperti itu.

Muhammad, kata ayahmu engkau juga makin hebat dan kuat. Tidak lagi menjerit kencang ketika mendengar suara pesawat yang menggelegar dan menjatuhkan bom.

Hari ini, di koran-koran kubaca Israel menjatuhkan bom curah di tengah udara dingin yang membekap kotamu. Aku berdoa dalam ketakutan dan rasa geram. Mudah-mudahan rumah kalian di tengah kamp pengungsian, terhindar dari zat kimia laknat itu.

Jauh dari tanah kalian, anak-anakku titip doa untuk kalian. Mudah-mudahan esok kalian terjaga di tengah pagi yang bening, tenang, tanpa gelegar pesawat tempur. Dalam dunia yang damai.




Dikutip dari Suara Dari Neraka oleh Angela Dewi

Usah Semua


Usah semua yang diusahakan
Kata-kata kias yang dieja terbata-bata
Ataupun pertemuan penuh riak
Terisi manusia-manusia tamak
Hanya akan jadi pajangan pemenuh kertas di sudut almari tuan muda

Usah semua yang diusahakan
Ujung pucuk tersampai, ujung akar tak terbahas
Masih bertumbuh, ia tertancap
Tak adakah yang sadar?
Manusia selalu begitu.
Lihat ujung, bukan lihat pangkal
Praktis tombak terpikir, analitis tak dipakai

Usah semua yang diusahakan
Kumpulan carut marut yang coba diluruskan
Hanya di atas olahan kayu
Aku bahkan tak tersampaikan
Cuma kalian yang tahu
Kami tidak

Usah semua yang diusahakan
Seperti mengeja tanpa tahu makna
Layaknya mematikan rumput-rumput di padang ilalang
Kau hanya
haruskah kukatakan?

Tak tahu dasar masalahnya.