Desember 06, 2012

Semburat Penari Musim Hujan


Sejujurnya, aku lelah. Aku di sini sejak beberapa jam yang lalu dan kau belum juga datang. Awan semakin gelap kelabu, berbicara padaku dengan muram. Aku biasanya bisa melihat mentari, tapi kini ia bersembunyi. Tanpa cerah, tanpa senyum, ia meninggalkanku yang kalut.
Ah, mengapa kau belum juga datang?

“Kau belum makan?” Ibuku datang tanpa mengetuk. Suara dinginnya membius dimensi ruang tempat kami berada. Biasanya aku akan sangat merasa terganggu, tapi tidak dengan kali ini. Aku hanya meliriknya sekilas dengan lesu, memandang udara tanpa warna didepanku. Menjejak kembali penantian.
“Bisakah kau tidak diam? Ibu sedang di sini.” Suaranya menegas dan aku tetap bergeming. Entah apa yang ia pikirkan, aku juga tidak peduli. Bagiku saat ini aku hanya butuh ia yang kutunggu.
“Kau harus makan, Kasih. Sudah semakin kurus kering tubuhmu. Orang-orang yang melihat tak sampai hati.”Bujukan klise. Salah besar ia jika menyangka aku akan menurut.”Setidaknya kau harus minum. Kau bilang kau cerdas? Sadarkah kau merusak ginjalmu?!”
Hari itu ia tutup dengan nada tinggi.

Ya, aku memang mahasiswa kedokteran. Ralat, aku pernah menjadi mahasiswa kedokteran sebelum aku memutuskan untuk menetap di sini. Ibuku saat itu marah besar. Memakiku bodoh untuk pertama kalinya karena aku lari dari masa depan. Dia tidak tahu saja bahwa ia dan mereka yang lebih bodoh dariku. Menyiakan keindahan alam, mengejar dunia hingga terengah-engah. Bermimpi mendapatkannya meskipun tahu sejatinya tidak akan bisa.
Bagiku, menjadi dokter bukan apa-apa. Aku hanya ingin bersama dia. Dia yang selalu kutunggu. Setiap saat, setiap detik waktuku.

Kau tahu seperti apa rasanya jatuh cinta? Sepenuhnya aku bisa merasakan. Malam yang indah penuh bintang harusnya terasa indah menemani kesendirian, bukan? Bagiku tidak. Alasannya sederhana, karena ia tak ada. Meskipun bintang-bintang itu berkelip menggodaku, rasanya tetap hampa. Tetap gelap, layaknya gerhana. Bahkan deburan ombak yang membahanapun tak sampai suaranya. Tetap hening di telingaku, hanya karena ia tidak ada.

Senja di kala itu menjingga. Kian lama semakin merah. Aku bersemu dan rasanya berbunga. Meskipun sudah seminggu kau juga belum datang, aku masih yakin kau akan muncul di depan jendela kamarku sambil menyapa. Bukankah memang sudah begitu sejak aku tahu maknamu?

Aku yakin kau akan datang.
Yakin kau akan datang.
Kau pasti datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar