November 17, 2013

Pembinaan IKM FMIPA UI: Membangun Indonesia!


oleh Haniyya 1106011114 IKM Aktif 2011

Musim Pemilihan Raya (Pemira) Ikatan Keluarga Mahasiswa (IKM) UI baru saja dimulai pekan ini. Begitu pula dengan Pemira di tiap-tiap fakultas termasuk MIPA. Pemilihan Raya identik dengan kaderisasi lembaga, momen munculnya nama serta wajah baru yang ikut mengisi daftar kontributor pembangun IKM FMIPA UI baik di bidang eksekutif, yudikatif, dan legislatif, baik di tingkat fakultas maupun departemen. Isu kaderisasi tersebut bersifat sangat penting dan vital sehingga harus dimiliki oleh semua lembaga termasuk lembaga legislatif seperti Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM). Mengapa? Karena sebuah lembaga perlu penggerak, sebuah lembaga perlu orang-orang yang bekerja secara profesional sehingga lembaga tersebut dapat terus menjadi wadah mahasiswa untuk menebar manfaat serta kebaikan kepada masyarakat. Bukankah pengabdian masyarakat adalah salah satu butir dari tridharma perguruan tinggi?
Faktanya, akhir-akhir ini sulit untuk mencari kader-kader lembaga kemahasiswaan yang memiliki profesionalitas serta kapabilitas tinggi. Bahkan, lebih buruk lagi, untuk sekadar mengisi kekosongan di jajaran pengurus saja sulit. Hal tersebut tidak hanya ditemukan di tingkat departemen maupun fakultas MIPA saja, tetapi juga di tingkat UI secara keseluruhan. Bukan karena jumlah mahasiswa UI yang semakin sedikit setiap tahun akademik baru, namun karena tingkat kepedulian mahasiswa terhadap isu-isu kemasyarakatan (meliputi pendidikan, sosial, politik, dll) yang semakin menurun. Hal tersebut diperparah dengan pemadatan sistem akademik yang diberlakukan pada skala nasional.
Meskipun begitu,tersendatnya laju kaderisasi lembaga kemahasiswaan sejatinya dapat diatasi apabila pembinaan IKM FMIPA UI berjalan dengan baik, mulai dari pembinaan tingkat awal (Prosedur Penerimaan Anggota Aktif) hingga tingkat akhir. Melalui pembinaan, nilai-nilai kebangsaan, kepedulian terhadap masalah-masalah bangsa, serta kesadaran terhadap tiga fungsi utama mahasiswa dapat ditanamkan sehingga dapat menghasilkan mahasiswa-mahasiswa yang dengan ringan hati tergerak untuk ikut berkontribusi terhadap masyarakat.
Pembinaan sejatinya adalah hal yang sama dengan pendidikan. Melalui pembinaan, nilai-nilai luhur pengabdian ditanamkan sehingga diharapkan seluruh individu yang masuk ke dalam keanggotaan IKM FMIPA UI memiliki pemahaman bersama yang bersifat universal, tidak parsial. Pembinaan dilakukan sebagai bagian dari roda pergerakan lembaga mahasiswa untuk melahirkan kader-kader yang mengenal hakikat perjuangannya serta medan juangnya dengan baik sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah terbentuknya IKM FMIPA UI yang bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Disadari atau tidak, banyak mahasiswa MIPA yang kurang menyadari pentingnya pembinaan dan kaderisasi, sebagian justru tidak tahu untuk apa kedua hal tersebut dijalankan. Hal itu mungkin terjadi akibat menurunnya kualitas penanaman nilai-nilai awal pada saat rangkaian kegiatan PPAA yang diperuntukkan untuk mahasiswa baru. Belum ada keberlangsungan transfer nilai dari mulai Pengenalan Sistem Akademik Fakultas (PSAF) sampai dengan Orientasi Keagamaan dan lain-lain. Semuanya masih terkesan berjalan sendiri-sendiri dan membawa nilai masing-masing departemen saja. Didasarkan oleh realita tersebut, BPM FMIPA UI menginisiasi koordinasi semua lembaga kemahasiswaan untuk dapat bersinergi dalam sepuluh bidang Garis-Garis Besar Arah Kegiatan (GBAK) lembaga kemahasiswaan FMIPA UI. Di antara kesepuluh bidang tersebut, bidang pembinaan dan kaderisasi merupakan salah satu bidang yang mendapat perhatian lebih.
Sejak tahun 2013, IKM FMIPA UI memiliki tim pembinaan yang pembentukannya diinisiasi oleh BPM FMIPA UI sebagai lembaga penaung tertinggi dalam struktur IKM FMIPA UI. Tim tersebut bertanggung jawab untuk sinergisasi pembinaan tingkat I (untuk mahasiswa baru), tingkat II, tingkat III, serta tingkat IV (atau tingkat akhir). Menurut Surat Keputusan BPM FMIPA UI nomor 08/TAP/BPM FMIPA UI/IV/13 tentang Tim Pembinaan MIPA, tugas tim pembinaan adalah sebagai berikut, yaitu 1) Menyusun rancangan Pedoman Pembinaan Mahasiswa FMIPA UI, serta 2) mengajukan rancangan ketetapan tentang Pedoman Pembinaan Mahasiswa (PPM) ke BPM. Selain itu, Tim Pembinaan MIPA memiliki wewenang sebagai berikut, yaitu membentuk Tim Koordinasi yang bertugas untuk mengarahkan dan mengawasi kinerja tim pelaksana kegiatan pembinaan dan kaderisasi mahasiswa FMIPA UI.
Tim Pembinaan MIPA mengatur merancang Pedoman Pembinaan Mahasiswa (Ketetapan BPM FMIPA UI nomor 10/TAP/BPM FMIPA UI/IV/13) yang melahirkan tiga belas nilai pembinaan yang meliputi 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) akademik dan Profesi; 3) Pengembangan Diri; 4) Wawasan Berpikir Kebangsaan; 5) Pengabdian; 6) Interaksi; 7) Budaya Ilmiah; 8) Paham dan Peduli; 9) Profesional; 10) Loyalitas dan Kebanggaan; 11) Kepemimpinan; 12) Nasionalisme; serta 13) Kemahasiswaan. Ketigabelas nilai tersebut merupakan dasar untuk menjalankan pembinaan dan kaderisasi FMIPA UI. Selain itu, Tim Pembinaan juga bertanggung jawab untuk mengkoordinasi pelaksanaan pembinaan IKM, seperti PSAF, Pengenalan Sistem Akademik Departemen (PSAD), Orientasi Keagaaman, MIPA Leaders Academy, dan lain-lain.
Meskipun begitu, perjuangan untuk mencetak mahasiswa FMIPA UI yang menjunjung tinggi asas profesionalisme masih panjang. Pembentukan Tim Pembinaan MIPA baru merupakan langkah awal dari perjalanan pembinaan dan kaderisasi IKM FMIPA UI yang masih panjang. Sejatinya, Tim Pembinaan tersebut harus dijaga dan diperbaiki kinerjanya sehingga performa pembinaan dan kaderisasi menjadi lebih baik. Dibutuhkan penjagaan yang berkelanjutan dalam hal pembinaan tersebut sehingga ke depannya lembaga kemahasiswaan di MIPA dapat lebih menunjukkan taringnya untuk menebarkan manfaat dan menjalankan peran pengabdian secara maksimal.
Kontribusi mahasiswa terhadap IKM FMIPA UI dan Indonesia sebetulnya tidak terbatas hanya dengan mengikuti lembaga kemahasiswaan atau berorganisasi saja, akan tetapi dalam hal akademik mahasiswa FMIPA UI juga harus memiliki kualitas profesionalisme yang tinggi sebagai calon ilmuwan Indonesia. Sehingga oleh karena itu, pembinaan dan kaderisasi IKM FMIPA UI yang dikoordinasi oleh Tim Pembinaan MIPA tidak hanya di bidang suksesi lembaga kemahasiswaan saja akan tetapi juga di bidang lain seperti kelimuan maupun seni dan olahraga.
Pembinaan dan kaderisasi sejatinya sama dengan pendidikan. Seperti halnya memajukan Indonesia, memajukan IKM FMIPA UI harus dimulai dengan kemajuan di bidang pembinaan dan kaderisasi. Pendidikan dan pembinaan adalah tombak kemajuan bangsa. Pendidikan adalah alat membangun bangsa. Membangun IKM FMIPA UI! Memajukan bangsa Indonesia!

Referensi
AD IKM FMIPA UI 2013
TAP BPM FMIPA UI nomor 08/TAP/BPM FMIPA UI/IV/13
TAP BPM FMIPA UI nomor 10/TAP/BPM FMIPA UI/IV/13

November 06, 2013

SEPERTI FILSUF


Sekarang, aku ingin bercerita tentang Amri Mushlih. Entah ya? Jujur saja aku belum mampu jadi wanita shalihah yang menjaga jarak dengan laki-laki. Aku pribadi membagi makhluk Mars itu menjadi dua kelompok: cowok dan ikhwan. Oke, secara bahas dua kata itu sama-sama diperuntukkan untuk makhluk yang memiliki kromosom XY. Tapi di kamusku, cowok adalah sebutan untuk mereka yang masih hanif soal agama, sementara ikhwan untuk mereka yang kuanggap seharusnya lebih mengerti tentang hubungan lawan jenis dalam Islam. Beberapa orang mungkin menganggapku abu-abu, parsial, dan lain-lain. Tapi bagiku, ini fleksibilitas: kau tidak akan pernah bisa memperlakukan orang dengan rata, kau harus lihat seberapa jauh pemahamannya sebelum kau mengambil sikapmu atasnya. Seperti guru yang mendidik muridnya. Masing-masing anak punya pemahaman yang berbeda, akan salah ketika guru tersebut menerapkan hal yang sama dalam memperlakukannya. Itu prinsipku.

Oh oke, out of topic again. Sebenarnya bukan itu yang mau kubahas.

Aku suka berpikir asosiasi, membandingkan teori yang satu dengan yang lain. Klasik dengan modern. Fundamental dengan kontemporer. Dan kurasa, di antara sekian banyak teman-temanku, Amri Mushlih adalah salah satu orang yang punya frekuensi sama denganku sehingga pikiran kami cukup sering terkoneksi.

Di pertambahan umurku yang kedelapan belas tahun, ia memberiku buku. Dunia Sophie judulya. Buku tentang filsafat. Oh yeah~ aku akui, selama ini aku tidak pernah tertarik dengan hal-hal yang berbau sosial. Perlu digarisbawahi, pikiranku dulu mungkin masih sangat sempit sehingga otakku secara otomatis langsung menghubungkan kata filsafat dengan ilmu sosial. Dan aku salah besar, pada dasarnya sains modern juga berkembang karena para filsuf begitu sibuk mempertanyakan hal-hal dasar kehidupan.
Aku menolaknya sebagai hadiah dan ia hanya bilang, “Terserah kamu buku ini mau kamu apakan, disumbangkan ke perpustakaan boleh, dikasih ke orang lain juga boleh. Asal kamu janji untuk membacanya hingga dua atau tiga kali. Aku ingin kamu paham tentang pesan yang disampaikan.”

Oke, baru kali ini ada orang yang tidak tersinggung hadiahnya kutolak.

Baru kurang-lebih seratus lima puluh halaman kuhabiskan sepanjang hari ini dan ketika Amri Mushlih meneleponku pada jam sepuluh malam ini seperti biasanya, aku sudah bersemangat berbicara tentang filsafat.
Hal yang paling kusuka sejauh ini adalah bahwa seorang filsuf, bukanlah orang yang merasa bahwa ia sudah tahu segalanya sehingga ia mengajarkan orang lain dengan memberikan asumsi bahwa segala yang ia katakan adalah benar adanya. Tetapi filsuf, adalah seseorang yang tahu dan sadar akan ketidaktahuannya dan ia begitu memikirkan ketidakberdayaannya tersebut. Seorang filsuf, bukanlah mereka yang secara berlebihan mempertahankan pendapatnya, tetapi ia adalah orang yang selalu belajar dari pendapat dan sudut pandang manusia lain. Secara teori seharusnya begitu, tetapi praktikalnya manusia sering sekali menyimpang dari asas definisi.

Wow.

And you know what? Sadarkah kita bahwa gaya hidup serta berpikir orang Indonesia sudah jauh dari itu? Sehingga pendidikan kita lebih banyak bersifat satu arah dalam praktikal, bukannya dua arah yang bahkan Nabi Muhammad pun juga mengajarkan. Sadarkah bahwa pendidikan Indonesia berorientasi pada nominal bukannya nilai-nilai kebenaran yang seharusnya dipelajari dengan akal, diyakini dengan hati, serta diamalkan ke dalam setiap sendi kehidupan?
Bahkan orang yang mengakui dirinya taat kepada Allahpun, belum tentu memahami ini. Banyak dari kita yang menjalankan agama hanya karena memang peraturan agama mewajibkan seperti itu. Hanya karena orang-orang lain juga melakukan itu. Oke, kuberikan contoh. Mereka yang membayar zakat, hanya karena zakat itu merupakan rukun Islam keempat, sementara ia tidak mengerti alasan Allah menyuruh berzakat dan mensucikan harta akan lebih rendah kualitas imannya dibanding mereka yang membayar zakat karena mereka sadar betul tujuan Allah menyuruh hambaNya melakukan itu.
Sama seperti kita yang Islam hanya karena orang tua kita juga Islam. Akan berbeda dengan mereka yang terlebih dahulu susah payah mencari kebenaran dengan akal sehatnya untuk meyakini Allah serta Muhammad sebagai RasulNya. Bahkan, Allah pun menyuruh kita untuk senantiasa berpikir kritis sehingga jalan kebenaran akan berpendar terang benderang di hadapan kita.
Jika kita masih punya pikiran hanya menerima tanpa benar-benar paham dan meyakini adaya .. Lalu, apa bedanya dengan kawanan domba yang digiring begitu saja tanpa tahu arah ke mana mereka dibawa?
Sejatinya urusan agamapun seperti itu. Agama memang urusan keyakinan dan iman, tapi bukankah ia juga butuh landasan akal serta pikiran untuk menguatkan keyakinan tersebut? Meskipun memang pada akhirnya, ada hal-hal krusial tertentu yang akal manusia tidak dapat menjamahnya selain dengan keimanan tanpa syarat.

Dan aku cuma tersenyum saat Amri Mushlih bilang, “Cuma itu (pengetahuan dan pembukaan wawasan tentang filsafat) yang bisa aku kasih sebagai hadiah ulang tahunmu.”

Dan, aku suka sekali.

SEPI


Aku baru saja membaca Kokologi, buku karangan orang Jepang yang berisi permainan-permainan kehidupan. Setiap jawaban dapat menggambarkan karakter serta pandangan-pandangan hidup yang kita punya.
Aku suka sekali bacaan semacam ini.

Jadi, aku dan ketiga teman kampusku menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu di sela-sela mengerjakan laporan praktikum Mikrobiologi. Lantai dasar departemenku lenggang, dan tampaknya memang cuma kami berempat yang berisik.
Pertanyaannya adalah:
Bayangkan bahwa kamu kembali ke masa lalu, saat kepolosan masih menghiasi wajahmu .. Saat kau tidak peduli waktu terus bermain sampai lelah, saat alam masih bersahabat .. Saat setiap pagi matahari bersinar lembut menyambut pagimu dan awan menjadi pelindung saat berlarian di lapangan. Suatu hari, kau ingin makan permen. Untuk itu, kau dengan langkah riang bersenandung mampir sebentar ke sebuah toko permen di ujung jalan. Ada banyak permen warna-warni di sana, berbagai jenis permen: lollipop, permen karet, dan lain-lain. Di antara semua permen itu, permen mana yang kaupilih? Dalam kasusku, aku menjawab: permen karet berwarna-warni yang berbentuk bulat dalam sebuah toples besar. Alasannya? Karena aku suka warnanya.
Sambil menunggu sang penjaga toko mengambilkan pesananmu, kaulihat ada sekelompok anak di luar toko yang sepertinya akan masuk. Berapa jumlah anak yang masuk ke dalam toko? Aku menjawab: lima.
Ternyata penjaga toko berbaik hati memberimu permen bonus. Berapa jumlah permen bonus yang diberikan padamu? Satu? Dua? Jawabanku: satu.
Kemudian ternyata, skenario permainan ini menyatakan bahwa kau membeli permen-permen itu sebagai hadiah untuk seseorang, siapakah dia? Sebagian orang mungkin menjawab: sahabat, adik, teman spesial .. Tapi aku menjawab: Aku beli permen ini sejak awal untuk diriku, untuk diriku! Bukan orang lain, jadi aku tidak akan memberikannya pada siapapun.
Nah, itulah jawabanku.
Hal yang paling mengejutkan adalah pernyataan dari analisis terhadap semua jawabanku yang menunjukkan betapa aku amat sangat tidak tergantung pada orang lain. Itu, sungguh, sangat benar. Aku sampai geleng-geleng kepala.

“Anda lebih suka kehidupan yang memiliki sedikit pegangan, meminta sedikit dari isi dunia dan mengharapkan hal yang sama sebagai balasannya. Pendekatan kesendirian itu berarti Anda mungkin tidak harus berbagi dengan orang lain, tapi itu juga berarti Anda tidak akan pernah memiliki orang lain untuk bisa saling berbagi.”

Tahu tidak? Kata-kata itu benar-benar menusukku. Seperti ada angin musim dingin yang kemudian masuk ke relung-relung jiwa. Mengoyak benteng pertahanan. Mempertegas gaung kekosongan. Memperjelas keberadaan sepi. Aku, untuk kesekian ratus kalinya merasa sendirian.
Di satu sisi, aku takut untuk merasakan perasaan memiliki orang lain. Di sisi lain, aku takut jika aku memang benar-benar sendirian.
Seringnya, aku menikmati itu. Bahkan keinginanku sejak kecil adalah tinggal di suatu tempat terpencil yang dipeluk oleh kedamaian alam. Aku masih punya harapan untuk bisa menerima kebisingan dunia, tapi aku semakin bertanya-tanya apakah kebisingan itu benar-benar menerima diamku.

Dan kurasa jawabannya tidak, karena nyatanya, aku tetap merasa berbeda.
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa mereka sudah dekat denganku. Tapi, tidak, sesungguhnya. Aku punya banyak rahasia dan perasaan yang kusimpan rapat-rapat sampai berdebu, namun tidak pernah usang. Dan tidak ada satu orangpun yang benar-benar aku percaya untuk melihat aku sebenarnya.

Terkait dengan itu, aku jadi tidak yakin apakah kelak aku punya pendamping hidup yang menerima aku seutuhnya. Jika memang suatu saat nanti ternyata Tuhan berbaik hati mengirimkan, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan: haruskah aku membawa diriku keluar? Atau aku yang membiarkan ia masuk ke dalam? Ke dalam dunia di mana cuma ada aku dan orang itu. Terbingkai oleh cinta yang damai. Terasing dari keramaian.