Juni 24, 2013

Iya kamu, kamu itu pengecut.


Maaf ya, aku harus bilang.
Kalau kamu ..


Iya kamu, kamu itu pengecut.

Bisa berbicara di dunia maya. Tapi ketika diajak berbicara, malah diam seribu basa. Bilang padaku, "Sudahlah, tidak usah dibahas lagi."
Kamu terlalu rapuh atau memang semunafik itu?
Atau mungkin sudah jenuh dengan pembelaanku. Memangnya siapa yang mau membela diri.
Kau suruh aku diam, katamu, "Aku terlalu lelah untuk mengurai dan menjelaskan lagi."
Aku toh memang diam sejak awal. Harusnya kau yang perlu diam.

Pikiranku sudah carut-marut suasananya,
Hei, siapa pula yang mengusik kami? Kami sudah mulai bersantai dan berdamai dengan keadaan.
Tiba-tiba kau meledakkan lagi granat di perbatasan, tempat sekat-sekat itu ada dan memisahkan kita di dua dunia yang semakin jauh jauh jaraknya.
Lalu api-api mesiu itu membangunkanku. Seenaknya kau mengusik kami, suara-suara bergaung di bawah kerasnya tempurung. Seenaknya menggores luka (lagi), kemudian menyuruh kami menangis hening syahdu.

Diam? Kau saja yang diam, jika kau hanya sibuk berceloteh di belakang.



Aku yakin kau sudah tahu,
aku khan sudah bilang. Di pesan singkat pukul sembilan malam itu.

Juni 11, 2013

Abi :')




He's the number one man in our family. The most perfect father Allah sent to my life. Ever.

NUANSA




Dan sebetulnya selain itu, aku juga merindukan masa di mana aku menjadi bagian dari keluarga pergerakan. Sekarang juga masih, tapi nuansanya sedikit berkurang. Atau mungkin juga tidak, hanya saja aku merindukan nuansa Islam itu dari kacamata kekanakanku. Yang sederhana.

Juni 10, 2013

A Night with You, Dad.


Hujan. Gerimis, tapi intensif. Jangan coba-coba keluar tanpa tudung atau payung. Kau bisa sakit.
Hujan, siang ini. Meneduhkan amarah dan angkara yang meluap.

Ada rintik-rintik turun di malam itu. Tapi ia, membasahi jiwaku. Alih-alih tanah merah di depan rumah.
Hujan. Menyemikan kuncup-kuncup kasih dan menyempurnakan rindu.



Aku sejak kecil senang menulis. Abiku bilang, "Itu karena kamu anak Abi," Dulu, aku hanya setengah percaya. Setelah abi bilang begitu, biasanya aku cuma tertawa dan lepas landas berlari entah kemana.
Dulu, aku juga berisik. Wak Rafi'i bilang, "Wak bosan mendengarmu berceloteh tentang segala hal: semuanya ditanyakan."
Ini apa, Wak? Itu apa, Wak? Sesudah dijawab, eh bertanya lagi. Apa itu, Wak?
Dan, aku, aku ini anak paling bandel. Umur tiga tahun sudah dipukul Abi. Katanya, aku cengeng sekali. Lihat orang asing masuk rumah saja, langsung menjerit keras-keras. Padahal yang datang cuma saudara jauh, tapi tangisku sudah seperti anak bayi diculik orang.
Saat umurku tiga tahun, dokter bilang nyawaku tinggal tiga hari. Abi bilang, ia dan Umi sejak itu tidak pernah henti shalat dan berdo'a di tepi pembaringanku. Sambil memandangi wajah gadis kecilnya dipenuhi selang. Melihat aku yang sekarang, dokter bilang, "Anak Bapak ini punya nyawa rangkap dua."
Aku cuma tersipu malu, seraya berdo'a: semoga Allah juga kasih nyawa rangkap tiga.
Dan kalau aku bandel, kalimat itu jadi senjata Abi. Kamu kok bandel sih? Bukannya bersyukur Allah masih mau memberi kesempatan kedua!
Aku juga suka mengamati. Kata Umi, aku punya matanya. Tajam. Menusuk, hampir semua orang bilang begitu. Ditambah lagi, aku memang pendiam dan suka menyendiri. Aku bisa saja berada di pojok ruangan, sibuk bermain lego sambil sesekali mengamati teman-temanku yang berlarian. Bukan dengan tatapan ingin bergabung, tapi dengan tatapan tajam menganalisis keadaan.
Di antara teman-temanku itu, yang semuanya adalah anak dari ammah-ammah kelompok liqa Umi, ada satu orang yang paling dekat. Athifah Hasna Shafiyyah, namanya. Cantik khan? Orangnya juga secantik namanya.
Dulu, selain di liqa Umi kita juga sering ketemu di acara aksi Palestina. Sambil berjalan mengikuti massa di Monas, Abi suka menggendongku di pundaknya. Biar aku bisa melihat orang-orang yang bergerak bersama untuk kemenangan Islam, katanya. Aku sih saat itu cuma bisa tertawa. Senang digendong Abi. Senang dipeluk Abi.
Dulu waktu aku kecil, aku jarang kangen sama Abi.

Tahun-tahun berlalu membuat kenangan kami terbingkai debu. Dan aku yang beranjak remaja, rasa-rasanya semakin mengecewakan.
Sudah berapa kali buat Umi menangis?
Sudah berapa kali menjatuhkan harapan Abi?
Sudah berapa kali?
Aku cuma bisa menangis kala ingat tentang itu.
Dan masa remajaku, aku justru senang bisa jauh sama Abi dan bebas melakukan apapun seinginku.
Aku malu saat Abi peluk, saat Abi cium. Padahal lewat rengkuhannya, ia cuma ingin menyampaikan, "Abi bangga Kak Hany jadi lulusan terbaik."

Tapi, malam itu, aku kangen sama Abi. Kangen sekali.
Penyair-penyair puitis bilang, namanya rindu. Rasa kangen, jika ditumpuk dan terguling waktu, akan jadi bola. Dan bola itu, suatu saat akan pecah. Saat pecah, itulah rindu. Rasa kangen yang membuncah.
Sekarang, setelah aku mulai dewasa, aku rindu Abi.
Sangat rindu.

Rindu keteduhan matanya, rindu nasihat-nasihatnya.
Rindu sosoknya.
Rindu menghabiskan waktu bersama.
Dan rindu akan senyumnya.

Maka malam itu,
di tengah hujan yang membasahi ruang tempatnya berdiam di hatiku,
di tengah kalimat-kalimatnya yang menegaskan ia mencintaiku,
di tengah pandangannya yang bijaksana,
dan di tepi jurang yang memisahkan selama lebih dari tiga tahun,
aku memeluknya.
Lebih erat dari sebelumnya.
Aku menciumnya,
lebih takzim dari yang terakhir kali.
Dan aku bilang,
aku bilang aku mencintainya. Lebih dari laki-laki manapun, selain Rasulullah.





Juni 07, 2013

Hope someday ..





Keinginan baruku saat ini adalah:
STUDYING AT ENGLISH BOARDING SCHOOL, ENTERING AS A TWELVE-YEARS-OLD GIRL. LIVING PEACEFULLY WITH THE BEAUTY OF NATURE AROUND.

Could it be?


That's the dining room. And also, the dorm. It's all about togetherness. Just by wondering such a great fun moment, I'm totally happy now.


That's what I'm captivated to! The scenery is kind of a really nice thing ever that could be my first mood booster. And I think it could postpone me to grow older, hahaha.


I wonder if there's special uniform for student wears veil like me. If yes .. how would it be like?


The activity isn't only just studying but also having fun with sports, something like: rugby, lacrosse, and many more. Also, we could exploring the realm! It sounds very interesting, doesn't it?

Aku mencintai daun-daun gugur itu, dengan segala kerapuhannya ..




September sembilan belas tahun lalu, aku lahir. Tepat di saat pohon-pohol maple gugur di belahan Eropa sana. Aku bisa tahu, karena Tuhan menunjukkanku akan keindahannya.
Dan sejak itu, aku jatuh cinta. Pada warna-warna campuran karotenoid dan fikoeritrin itu. Yang gradasinya, membentuk lembayung. Indah, meski rapuh.
Daun-daun itu, mereka tegar untuk jatuh dengan kepasrahan. Membuat semesta tersenyum akan nuansanya, pun hanya singkat saja sebelum masa membuatnya busuk.
Cabang-cabang ranting itu, mereka ikhlas melepaskan. Ikhlas untuk ditinggal membeku sendiri kala salju turun nanti.

Gugur, ia benar-benar mencerminkan aku, di bagian rapuhnya.

Juni 06, 2013

YANG SEPERTI ITU BUKAN NIATKU!


Bulir-bulir air mata sudah akan jatuh saat aku membaca dua kalimat terakhir dan sebuah pesan singkat yang menyakitkan. Tapi ia bertahan. Tergantung dalam kekosongan kata. Sesak rasanya ketika niat kita dalam kebaikan, diinterpretasikan sebaliknya oleh orang. Sungguh, aku tidak bermaksud seperti yang ia kira. Tapi urusan hati memang siapa yang tahu? Seorang anak saja bisa salah arti tentang cinta ibu. Apalagi kita.



Seringnya, manusia terlalu menuntut yang lain untuk memahami, tanpa mau memahami. Baiklah, aku memang salah. Tapi tidak sepenuhnya. Dalam interaksi antar manusia, tidak ada yang betul-betul salah karena sudut pandangnya ada tiga: aku, kau, dan mereka. Lalu yang tahu kebenarannya cuma satu: Allah saja. Dan Ia nanti menjelaskannya saat kita berkumpul dengan telanjang kaki dan dada. Membentuk lautan manusia di Padang Mahsyar sana. Dan kebenaran, akan dibuka. Tidak ada lagi pengacara yang berguna.

Lalu lima menit kemudian, tiga buah pesan balasan kukirim. Kuharap dia membacanya dengan baik dan semoga udara bisa menghantarkan suaraku yang tertahan.

Singkat saja, begini bunyinya,
“Aku tidak pernah bermaksud menjatuhkan seseorang. Baik kamu maupun yang lain. Lalu menjadi superior sendiri. Yang seperti itu bukan niatku. Kurasa mereka perlu tahu, untuk mengoreksi jika aku sendiri salah memberi info padamu. Kurasa mereka perlu tahu, agar semuanya bisa terkoordinasi dengan baik. Karena ini bukan soal kerjamu atau kerjaku, ini soal kerja kita. Semuanya, tanpa terkecuali.”

Jadi maaf, jika usahaku untuk profesional membuatmu menjadi terlalu sensitif dan mengambil pemahaman yang salah. Semoga engkau tidak lagi merasa seperti itu, ya. Semoga niat kita terjaga hanya untuk hal-hal yang baik.

AKU TAHU, TAPI AKU ..





"Aku tahu butuh waktu yang tidak sebentar untukku menyempurnakan iman dan islamku.
Aku butuh pengalaman pahit dulu untuk menyadari hakikat hati.
Dan butuh berulang kali jatuh ke lubang untuk memurnikan cinta.
Aku tahu, aku belum sepenuhnya lepas dari kegalauan dan belum mahir menghadapi segala jenis perasaan.
Tapi aku, aku yakin ini cara Allah membimbingku untuk merasakan cinta sejati.
Cinta kepadaNya, karenaNya, dan pada orang yang cinta kepadaNya, dan pada orang yang mencintaiku karenaNya."

KAMI BERTEMU LAGI, INI YANG KEDELAPAN KALI


Ashar sebentar lagi memanggil. Aku masih berada di taman itu, sedikit menyapa senja sore itu dan membiarkan angin menyapu lembut. Tawa renyah aku dan sahabatku, Desi Pertiwi, diterbangkannya. Menjadi kabar pada seluruh alam, bahwa aku, orang yang paling jarang terlihat dan paling dingin akhirnya melepas hangat di perjumpaan dengan sahabat. Kami sama-sama rindu, rindu akan suatu komunitas yang ikatannya berdasarkan kecintaan pada dakwah fii sabiilillah. Aku tahu, aku mencintainya karena Allah. Dan itu yang tidak akan lekang, insyaAllah.
Bukan waktu yang lama, tapi aku senang kabarnya baik dan urusannya mudah. Bukan waktu yang lama, tapi aku senang aku bisa memeluknya dan menyampaikan salam keselamatan padanya. Adzan senja itu, yang akhirnya menangguhkan pertemuan kami.



Adzan senja itu juga yang menandai pertemuanku dengan seseorang yang lain. Mir, aku menyingkat namanya. Tempatnya bukan di sini, maksudku dia anak fakultas lain. Tapi entah, mungkin ada urusan. Sudah tujuh kali kami bertemu, terbingkai dalam sorot pandang yang sama. Lagi, lagi kau.
Kali ketujuh kami bertemu di sebuah acara kampus. Waktu itu hari sudah gelap, sekitar pukul sebelas malam dan penerangan yang ada cuma dari cahaya malu-malu sang bulan. Aku sudah tidak bisa membedakan yang mana mata yang mana hidung. Orang-orang hanya tampak seperti bayang-bayang. Dan di arah jarum jam pukul 11, aku menyadari keberadaannya. Dengan jaket organisasinya, gaya rambut jamur seperti adik sepupuku yang berumur lima tahun, dan senyum kekanakan ia memerangkapku. Untuk satu menit lamanya, tubuhku kaku. Yang aku tahu, senyumnya menyerap kehangatan tubuhku untuk kemudian memancarkannya lagi dengan sejuta kali daya yang lebih kuat.
Esoknya, ketika sarapan, aku betul-betul kaku. Ia membantuku mengambil tempe untuk teman-teman dan aku tidak sanggup untuk menatapnya lagi. Aku cuma berani menunduk dan membisikkan dua kata, “Terima kasih.” Dua detik kemudian aku dibuat tuli, karena dia bilang,”Oh, iya,”
Sejak itu, aku terlalu malu untuk sekadar melihat sosoknya. Seperti yang senja sore ini saksikan. Kami lagi-lagi berjalan pada garis yang sama. Dan untungnya, cepat berpisah di persimpangan menuju masjid dekat kantin. Kalau tidak, aku bisa kram kaki di tempat.

Ada empat hal yang membuatku bersyukur tentang sesuatu yang abstrak ini.
Pertama, Allah memberiku malu.
Kedua, tempatnya dan tempatku berjauhan. Dunianya dan duniaku beda dimensi.
Ketiga, aku lumpuh untuk mendefinisikan segumpal rasa yang menyeruak dan terlalu takut untuk mengukir nama selain Allah di hatiku lagi.
Terakhir, kami tidak saling mengenal. Dan aku belum mau mengenalnya lebih jauh. Terlalu riskan.

Dan Allah, sungguh Engkau Maha Penakluk Hati.

AKU SEDANG MENDEWASA


Ada banyak huruf yang akan tergores di atasmu, Kertas. Setelah sekian lama aku menyimpannya hanya dalam lipatan-lipatan ruang kalbuku atau membiarkannya melayang-layang di pikiran sebagai suatu gagasan.
Ini tentang perasaan.


Oh lagi-lagi, kenapa harus tentang itu, Kasih? Lagi-lagi galau. Tidak, tapi bukan itu. Orang-orang terlalu gampang memberi titel pada orang lain. Bahwa mereka yang sering membicarakan perasaannya, adalah hanya sekelompok orang penuh kegalauan dengan sensitivitas yang berlebihan. Sebagian bilang, kami ini sekumpulan orang-orang kurang kerjaan yang bicaranya hanya soal perasaan dan sibuk menumpul logika. Mungkin, itu memang benar.



Hei, tapi tidakkah mereka berpikir tentang satu kemungkinan? Bahwa sebagian dari kami, sedang menapaki jalan untuk mendewasa. Dan tidak sedikit dari kami, yang meskipun dengan terseok-seok, akhirnya bisa beranjak memahami dari satu titik hikmah ke hikmah yang lain. Dan belajar tentang kehidupan.

Karena bagiku, mendewasa adalah mengenai bagaimana kau bisa menjadikan perasaanmu seimbang dengan logikamu, sehingga akhirnya kau bisa melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang yang lain: apa yang mungkin terasa dan terpikir oleh lingkunganmu, bukan hanya tentang perasaanmu atau pikirmu saja.

Kemudian, tidak sedikit juga orang-orang memaki kami, yang berjalan terseok-seok ini. Dengan pandang penuh cela mencemooh, “Kau sungguh kekanak-kanakan.”
Mereka mungkin tidak tahu, bahwa yang terpenting adalah kami bergerak. Meskipun lambat temponya. Kami melangkah, meskipun dengan luka dan susah-payah.
Tapi percayalah, meskipun dengan berlari, mendewasa adalah proses yang tiada akhirnya. Jangan kau pikir, persoalan dewasa adalah seperti lomba maraton. Di mana semua peserta melalui jalan yang sama untuk menyentuh pita kemenangan dan pada akhirnya akan ada juara satu, dua, dan tiga.
Maka jangan sekali-kali kau samakan. Kau perlu tahu mendewasa adalah proses tanpa akhir yang panjang lintasannya untuk setiap orang berbeda-beda. Tergantung umur yang sudah Allah tetapkan di lauhul mahfudz sana. Pun halangan dan rintangannya. Ada yang lurus tapi terjal, ada yang berkelok tapi mulus, ada pula yang kombinasi keduanya. Dan setiap jalan, tidak ada yang lebih susah atau lebih mudah.

Jika kau melewati jalanmu, prosesmu mendewasa dengan berlari, pastikanlah kecepatannya konstan. Sehingga kau tidak berhenti atau malah terjatuh karena terlalu cepat. Pastikan kau tidak akan kelelahan sampai maut menjemputmu di titik akhir yang kasat mata.
Jika kau melewati jalanmu dengan penuh luka, pastikan kau menemukan obat penyembuhnya di pinggir-pinggir jalan itu. Sehingga kau tidak begitu saja lumpuh dan berhenti sebelum Izrail menjemputmu. Tapi kau, harus berusaha mencarinya. Karena terkadang, bunga yang cantik punya duri dan racun yang akan melukaimu lebih dulu sebelum kau memetik dan menikmati indah mahkotanya. Dan dalam hidup, kau mungkin akan menemukan banyak manfaat setelah kau berkali-kali tersakiti.
Jika kau melewati jalanmu dengan letih dan lelah, pastikan kau menemukan minuman dan makanan. Atau kau bisa saja beristirahat sebentar di balik daun-daun rimbun yang menghiasi pohon rindang. Tapi jangan berhenti terlalu lama. Nanti kau bisa merasa begitu nyaman untuk waktu yang panjang dan menua tanpa mendewasa.

Dalam hidup, akhir tidak perlu dicari dan sia-sia jika dipertanyakan. Kau mungkin akan bertanya-tanya dalam bingung dan letihmu. Tapi jawabannya akan datang ketika akhir itu sendiri yang menemuimu.

Aku sedang belajar mendewasa. Sudah banyak lukaku, kusingkap jika kau mau lihat. Terkadang, aku membandingkan jalanku dengan yang lain. Biasanya aku iri. Karena sepertinya rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Aku juga biasa mengutuki diriku sendiri, tadinya. Tentang mengapa aku merasa menjadi yang terburuk di antara manusia lain. Tentang mereka yang terlihat jauh lebih sempurna. Padahal, mungkin juga ada yang melihatku sebagai yang lebih darinya. Bukankah memang anak Adam susah sekali bersyukur?

Tapi, Allah, Yang Maha Terang, Sang Pemberi Hidayah, tidak henti mencurahkan hikmah-hikmahnya padaku. Tak henti menunjukkan jalanku. Tak lekang mendampingi untuk menuntunku. Yang membuatku akhirnya percaya bahwa Dia memang menujukkan kasih sayangnya melalui perlakuan yang berbeda untuk setiap hamba. Bahwa Dia bukan hanya melihat akhir, tapi juga melihat prosesnya. Sehingga yang terpenting bagi keselamatan dunia dan akhiratku bukanlah persoalan jalan siapa yang lebih mudah, siapa yang lebih sukses, siapa duluan yang mencapai akhir dengan husnul khatimah, atau siapa yang punya kedewasaan lebih tinggi saat ini.

Yang Allah ingin untuk aku pahami adalah: Aku tidak akan berhenti, untuk mendewasa di jalan paling indah yang sudah Ia tetapkan sebagai mediaNya membimbingku sampai ke ridhaNya, insyaAllah. Pada akhirnya nanti, jalan yang kulalui akan terasa indah dan dijadikan atasnya kerinduan yang dalam. Pada akhirnya nanti, cahaya Allah akan sepenuhnya menerangi jalanku dan menjadikannya terang benderang dengan kemilau-kemilau, asal aku tidak pernah berhenti. Berhenti mendewasa.