Juni 10, 2013

A Night with You, Dad.


Hujan. Gerimis, tapi intensif. Jangan coba-coba keluar tanpa tudung atau payung. Kau bisa sakit.
Hujan, siang ini. Meneduhkan amarah dan angkara yang meluap.

Ada rintik-rintik turun di malam itu. Tapi ia, membasahi jiwaku. Alih-alih tanah merah di depan rumah.
Hujan. Menyemikan kuncup-kuncup kasih dan menyempurnakan rindu.



Aku sejak kecil senang menulis. Abiku bilang, "Itu karena kamu anak Abi," Dulu, aku hanya setengah percaya. Setelah abi bilang begitu, biasanya aku cuma tertawa dan lepas landas berlari entah kemana.
Dulu, aku juga berisik. Wak Rafi'i bilang, "Wak bosan mendengarmu berceloteh tentang segala hal: semuanya ditanyakan."
Ini apa, Wak? Itu apa, Wak? Sesudah dijawab, eh bertanya lagi. Apa itu, Wak?
Dan, aku, aku ini anak paling bandel. Umur tiga tahun sudah dipukul Abi. Katanya, aku cengeng sekali. Lihat orang asing masuk rumah saja, langsung menjerit keras-keras. Padahal yang datang cuma saudara jauh, tapi tangisku sudah seperti anak bayi diculik orang.
Saat umurku tiga tahun, dokter bilang nyawaku tinggal tiga hari. Abi bilang, ia dan Umi sejak itu tidak pernah henti shalat dan berdo'a di tepi pembaringanku. Sambil memandangi wajah gadis kecilnya dipenuhi selang. Melihat aku yang sekarang, dokter bilang, "Anak Bapak ini punya nyawa rangkap dua."
Aku cuma tersipu malu, seraya berdo'a: semoga Allah juga kasih nyawa rangkap tiga.
Dan kalau aku bandel, kalimat itu jadi senjata Abi. Kamu kok bandel sih? Bukannya bersyukur Allah masih mau memberi kesempatan kedua!
Aku juga suka mengamati. Kata Umi, aku punya matanya. Tajam. Menusuk, hampir semua orang bilang begitu. Ditambah lagi, aku memang pendiam dan suka menyendiri. Aku bisa saja berada di pojok ruangan, sibuk bermain lego sambil sesekali mengamati teman-temanku yang berlarian. Bukan dengan tatapan ingin bergabung, tapi dengan tatapan tajam menganalisis keadaan.
Di antara teman-temanku itu, yang semuanya adalah anak dari ammah-ammah kelompok liqa Umi, ada satu orang yang paling dekat. Athifah Hasna Shafiyyah, namanya. Cantik khan? Orangnya juga secantik namanya.
Dulu, selain di liqa Umi kita juga sering ketemu di acara aksi Palestina. Sambil berjalan mengikuti massa di Monas, Abi suka menggendongku di pundaknya. Biar aku bisa melihat orang-orang yang bergerak bersama untuk kemenangan Islam, katanya. Aku sih saat itu cuma bisa tertawa. Senang digendong Abi. Senang dipeluk Abi.
Dulu waktu aku kecil, aku jarang kangen sama Abi.

Tahun-tahun berlalu membuat kenangan kami terbingkai debu. Dan aku yang beranjak remaja, rasa-rasanya semakin mengecewakan.
Sudah berapa kali buat Umi menangis?
Sudah berapa kali menjatuhkan harapan Abi?
Sudah berapa kali?
Aku cuma bisa menangis kala ingat tentang itu.
Dan masa remajaku, aku justru senang bisa jauh sama Abi dan bebas melakukan apapun seinginku.
Aku malu saat Abi peluk, saat Abi cium. Padahal lewat rengkuhannya, ia cuma ingin menyampaikan, "Abi bangga Kak Hany jadi lulusan terbaik."

Tapi, malam itu, aku kangen sama Abi. Kangen sekali.
Penyair-penyair puitis bilang, namanya rindu. Rasa kangen, jika ditumpuk dan terguling waktu, akan jadi bola. Dan bola itu, suatu saat akan pecah. Saat pecah, itulah rindu. Rasa kangen yang membuncah.
Sekarang, setelah aku mulai dewasa, aku rindu Abi.
Sangat rindu.

Rindu keteduhan matanya, rindu nasihat-nasihatnya.
Rindu sosoknya.
Rindu menghabiskan waktu bersama.
Dan rindu akan senyumnya.

Maka malam itu,
di tengah hujan yang membasahi ruang tempatnya berdiam di hatiku,
di tengah kalimat-kalimatnya yang menegaskan ia mencintaiku,
di tengah pandangannya yang bijaksana,
dan di tepi jurang yang memisahkan selama lebih dari tiga tahun,
aku memeluknya.
Lebih erat dari sebelumnya.
Aku menciumnya,
lebih takzim dari yang terakhir kali.
Dan aku bilang,
aku bilang aku mencintainya. Lebih dari laki-laki manapun, selain Rasulullah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar