Juni 06, 2013

KAMI BERTEMU LAGI, INI YANG KEDELAPAN KALI


Ashar sebentar lagi memanggil. Aku masih berada di taman itu, sedikit menyapa senja sore itu dan membiarkan angin menyapu lembut. Tawa renyah aku dan sahabatku, Desi Pertiwi, diterbangkannya. Menjadi kabar pada seluruh alam, bahwa aku, orang yang paling jarang terlihat dan paling dingin akhirnya melepas hangat di perjumpaan dengan sahabat. Kami sama-sama rindu, rindu akan suatu komunitas yang ikatannya berdasarkan kecintaan pada dakwah fii sabiilillah. Aku tahu, aku mencintainya karena Allah. Dan itu yang tidak akan lekang, insyaAllah.
Bukan waktu yang lama, tapi aku senang kabarnya baik dan urusannya mudah. Bukan waktu yang lama, tapi aku senang aku bisa memeluknya dan menyampaikan salam keselamatan padanya. Adzan senja itu, yang akhirnya menangguhkan pertemuan kami.



Adzan senja itu juga yang menandai pertemuanku dengan seseorang yang lain. Mir, aku menyingkat namanya. Tempatnya bukan di sini, maksudku dia anak fakultas lain. Tapi entah, mungkin ada urusan. Sudah tujuh kali kami bertemu, terbingkai dalam sorot pandang yang sama. Lagi, lagi kau.
Kali ketujuh kami bertemu di sebuah acara kampus. Waktu itu hari sudah gelap, sekitar pukul sebelas malam dan penerangan yang ada cuma dari cahaya malu-malu sang bulan. Aku sudah tidak bisa membedakan yang mana mata yang mana hidung. Orang-orang hanya tampak seperti bayang-bayang. Dan di arah jarum jam pukul 11, aku menyadari keberadaannya. Dengan jaket organisasinya, gaya rambut jamur seperti adik sepupuku yang berumur lima tahun, dan senyum kekanakan ia memerangkapku. Untuk satu menit lamanya, tubuhku kaku. Yang aku tahu, senyumnya menyerap kehangatan tubuhku untuk kemudian memancarkannya lagi dengan sejuta kali daya yang lebih kuat.
Esoknya, ketika sarapan, aku betul-betul kaku. Ia membantuku mengambil tempe untuk teman-teman dan aku tidak sanggup untuk menatapnya lagi. Aku cuma berani menunduk dan membisikkan dua kata, “Terima kasih.” Dua detik kemudian aku dibuat tuli, karena dia bilang,”Oh, iya,”
Sejak itu, aku terlalu malu untuk sekadar melihat sosoknya. Seperti yang senja sore ini saksikan. Kami lagi-lagi berjalan pada garis yang sama. Dan untungnya, cepat berpisah di persimpangan menuju masjid dekat kantin. Kalau tidak, aku bisa kram kaki di tempat.

Ada empat hal yang membuatku bersyukur tentang sesuatu yang abstrak ini.
Pertama, Allah memberiku malu.
Kedua, tempatnya dan tempatku berjauhan. Dunianya dan duniaku beda dimensi.
Ketiga, aku lumpuh untuk mendefinisikan segumpal rasa yang menyeruak dan terlalu takut untuk mengukir nama selain Allah di hatiku lagi.
Terakhir, kami tidak saling mengenal. Dan aku belum mau mengenalnya lebih jauh. Terlalu riskan.

Dan Allah, sungguh Engkau Maha Penakluk Hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar