Desember 15, 2012

Hujan Tak Lagi Hangat


Langit sore mendung. Tapi pertandingan masih saja belum mulai sementara waktu bergulir cepat. Nara memandang lapangan berumput dengan dua gawang di seberang. Hijau dan agak berembun, sisa hujan tadi siang. Tanah yang ia pijak liat. Penuh dengan bekas injakan tapak orang. Awan, harus sampai kapan aku di sini?
Sudah satu jam. Hujan mulai turun. Lagi. Deras membasahi topi gembala merah muda yang ia pakai dan membuat ubun-ubun kepala basah detik berikutnya. Orang-orang berlarian mencari tempat berlindung dan beberapa dengan santai membuka payung dari lipatannya. Sekumpulan kodok hijau keluar dari persembunyiannya menari menikmati nyanyian hujan. Sementara ia berdiri kaku di bawah rinai hujan. Basah. Rana bergeser dari tempatnya semula ke bawah pohon yang cukup rindang. Sebuah tempat yang salah untuk berlindung dari hujan karena resiko tertimpa jika pohon itu tumbang sangat tinggi. Ia menyesal karena menolak saran Ibu untuk membawa payung hari ini. Ia pikir, hari ini akan cerah. Secerah hatinya yang bahagia karena akan bertemu dengan seseorang yang Nara rindu senyumnya. Tapi ternyata, hari ini adalah penantian panjang untuknya.

Matanya terpaku pada sepasang muda yang bergandengan tangan erat. Berlari bersama mencari perlindungan dari titik hujan. Tangan mereka berada sejengkal di atas kepala. Usaha yang teramat sia untuk mencegah hujan jatuh membasahi diri.
Dulu, Nara pernah mengalami itu. Hanya sedikit berbeda. Dulu, dengan jemari yang saling menggenggam erat ia dan Rases menerjang hujan. Jaket hitam bergaris abu-abu milik Rases basah dan gagal melindungi kepala mereka. Terkadang mereka berhenti berlari dan berlindung di bawah pohon yang berdiri mencengkeram tanah. Mengatur nafas yang terengah dan kembali mengambil langkah sambil berharap hujan ini segera berhenti. Saat itu dingin, tapi hati ini rasanya hangat. Dan ketika Nara menggigil, Rases segera memeluknya dan segera saja dingin itu menguap.
Sebenarnya, bisa saja mereka naik angkutan umum yang banyak berlalu-lalang. Tapi hari itu, jumlah uang yang ia dan Rases gabungkan berdua hanya cukup untuk membeli tiket kereta yang membawanya pulang ke kota.

Siang itu, ketika udara memanas dan rasa lapar mendera, mereka berdua hanya mampu membeli sebungkus roti rasa cokelat murahan yang banyak dijual di pinggir jalan. Itupun harus dibagi dua. Berkali-kali Rases mengucap maaf. Menyesal atas kekurangan finansial hari ini.
”Maaf. Lain kali tidak begini.”sesal Rases, menggenggam tangan Nara. Memandangi gadis mungil yang dengan lahap menghabiskan sepertiga bagian roti. Nara cepat-cepat mengunyah dan mendorong roti dengan segelas air mineral dingin.
”Tidak apa.”ucapnya, sementara tangan Rases sigap membersihkan mulutnya dari remah roti. ”Aku bahagia.”
Dua pasang mata yang memancarkan damai itu saling menatap. Lembut, penuh rasa sayang. Dan dengan jemari yang tergenggam erat, mereka berjalan melintas hari beriringan.
Tuhan, aku sadar hari itu tak akan pernah lagi terulang.

Seseorang menepuk Nara dari belakang. Membuatnya tersentak dari lamunan. Air mata di pelupuk batal jatuh.
Rases.

Senyumku merekah. Payung di tangannya kini menaungiku. Tapi aku terlanjur basah. Aku memandangnya, berharap melihat senyuman yang sama seperti yang kulihat sebelumnya.
Tapi ada yang terasa berbeda. Kedamaian yang memancar itu lenyap. Jemarinya tak lagi menggenggamku, meski keadaan ini sama seperti dulu. Tak lagi hangat. Ada beda di sorot matanya. Ada yang hilang.
Aku gemetar, menahan gemeletuk rasa dan dingin yang menyergap. Tapi tak ada lagi tangan yang mendekapku kini.
Langit, sungguh hatiku kini banjir kesedihan. Sungguh hatiku sekarang hujan.
Sudah sebulan ini aku dan Rases terus-terusan bertengkar. Rases yang memintaku untuk mengerti akan kesibukannya dan aku yang sadar kalau dia berubah sikapnya terhadapku menuntutnya dengan kata-kata.
Kami tertekan, kami berubah. Rases yang dulu perhatian, Rases yang dulu selalu bertutur lembut padaku dan membuatku merasa spesial di dekatnya ..
Tapi lagi-lagi, itu dulu. Sekarang berbeda.
Dan aku merasa lelah. Sekarang aku tahu, alasan mengapa harus ada kata ’dulu’ dan ’sekarang’. Aku mengerti mengapa dalam tata bahasa inggris ada ’present tense’ dan ’past tense’. Ya, karena apa yang terjadi dulu dan sekarang memang berbeda, tak pernah sama. Bahkan, di tiap detik waktu yang berlalu kejadian yang terjadi tak pernah benar-benar sama.
Omong kosong dengan de javu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar