Mei 07, 2013

Lelaki itu: Kau lagi



Ivanovich Lawrean. University of Zurich.
Dia lagi.


22 Februari
Aku rasa aku salah masuk forum. Di sini membosankan. Membuat jengah. Dan mereka hanya beradu pendapat tanpa tentu arah. Hei, presidium, Anda membutuhkan wibawa lebih dari itu untuk menenangkan mereka. Pinjam saja suara petir yang menggelegar jika betul-betul tak sampai.
Aku tertawa saja. Ironi. Sungguh sayang, waktuku terbuang sia-sia. Begitu juga dengan ..uangku.
University of Kent. Derrick Manhattan. Dia sekarang sedang mengajukan pendapat tentang penundaan acara. Oh tidak, pikirku, jangan bilang aku harus pulang dengan tangan kosong, perut lapar, dan hati yang kesal.
George-August Universitat. Sebastian Ballack. Orang ini sudah berbicara berpuluh-puluh kali. Dan mengutarakan hal yang sama. Penuh arogansi. Mungkin karena budaya Jerman yang berdisiplin tinggi, dia jadi sangat murka dengan pelayanan panitia acara. Oh jujur, aku juga kecewa. Tapi bisa tidak jika dia mengatakannya dengan nada yang lebih lembut?
Dari sekian banyak kontingen universitasku yang terdaftar, hanya aku yang bernasib sial kali ini. Mereka boleh saja tersesat seharian di Milan sehingga terlambat menghadiri acara sialan ini yang jaraknya berpuluh-puluh kilo dari pusat kota. Tapi setidaknya mereka tidak terperangkap dalam ruangan penuh orang-orang sombong yang saling bersilat lidah. Jika saja aku bisa berapparate seperti Harry Potter, sungguh beruntung aku.
University of Singapore. Christian Hans. Entah dia berbicara apa, mungkin sama intinya seperti yang dibilang Manhattan dan Ballack. Ini dapat dengan mudah terbaca, ada dua kubu. Kubu panitia dan kubu kontingen forum. Satu menyerang, satu bertahan. Membela diri dan memaksa agar acara tetap berjalan.
George-August Universitat. Sebastian Ballack. Dia hanya membenarkan Hans. Sudah kubilang khan? Tumben dia tidak banyak omong.
Matahari di luar sudah agak mendung. Sebentar lagi rinai hujan akan menari di tengah kuncup-kuncup bunga yang menunggu mekar. Satu bulan lagi mungkin, kota ini akan indah berhiaskan warna bunga-bunga. Kuning, jingga, merah, ungu, semuanya. Andai saja visaku tidak punya masa berlaku .. aku mungkin akan menghabiskan waktuku di sini berbulan-bulan.
Seorang pria berdiri. Tepat menghalangi arah pandangku ke jendela. Susunan tempat duduk di ruangan ini bundar. Dan pria itu, tepat menghadapku.
Ivanovich Lawrean. University of Zurich.
Apa? Coba ulangi. Ivanovich Lawrean. Ketua Riset dan Teknologi.
Apa? Aku sejak lama menjadikan lembaga mahasiswa yang dipimpinnya sebagai objek idealisme.
Tiba-tiba ruangan ini terasa begitu sempit. Dan jarak yang memisahkan meja kami menjadi semakin pendek. Sungguh tidak menyangka bisa bertemu.
Pria itu biasa saja. Sama seperti presidium forum, tidak berwibawa. Tapi entah, sepertinya dia punya magnet berukuran besar yang bisa menarik perhatianku. Atau mungkin dia punya sistem gravitasi sendiri.
Sesungging senyum lebar menghiasi wajahnya setelah berkata sesuatu. Aku tidak mendengarkan. Terlalu fokus dengan hal abstrak yang melekat pada sosoknya. Dan senyum itu .. senyum kekanakan itu menjawab pertanyaanku bahwa mungkin ia memang punya gravitasi sendiri.
Anehnya, saat itu pikiranku masih saja bisa berkata gengsi, “Oh, jadi ini ketuanya? Kualifikasi standar.”

Masih ruangan yang sama. Kelanjutan acara dari yang sempat tertunda beberapa bulan lalu. Dan ia, masih saja dengan senyum kekanakannya yang kalau dilihat sekilas cukup manis. Baiklah, aku mengakuinya. Hujan yang sama yang turun di langit kota ini resmi kunobatkan jadi saksi.


25 Maret
Pria itu lagi. Kami berada satu barisan. Berjarak enam kursi. Menambah berisiknya diskusi sosial politik di forum ini, suara-suara di kepalaku berebutan bicara, “Bukankah itu dia?”
“Ya, ya benar dia!”
“Untuk apa di sini?”
“Nyasar sepertimu, mungkin.”

Dan semakin berisik saat pandangan kami bertemu tak sengaja. Tertarik pada satu titik gravitasi kasat mata di tengah-tengah kami.
Deg.
Ah, biasa saja.

27 April
Riuh rendah sorak sorai ribuan orang di balai tempat kami berkumpul dalam olimpiade internasional. Entah apa lagi yang mendorongku untuk mengikuti acara-acara semacam ini. Aku rasa-rasanya sedang jatuh cinta pada keramaian dan teriakan. Ribuan suara memekik nyaring, bersatu padu meneriakkan almamater masing-masing. Euforia ini seperti candu. Semakin dihisap, hasrat melakukannya lagi semakin besar.
Dari arah barat kami, serombongan orang datang. Dengan semangat yang menyala-nyala menggentarkan siapapun yang mendengar. Satu orang sebagai pemimpin vokal, yang lain mengikuti komandonya.
Orang itu .. Oh mungkin lebih tepatnya pria itu. Itu dia.
Deg.
Dia melihatku. Dan aku berpaling.
Waktu bergulir dan aku tidak tahu apakah interval itu berbentuk detik atau menit. Tapi lagi-lagi, pandangannya padaku.
Benarkah padamu?
Oh sudahlah, aku tidak peduli.

Di persimpangan jalan menuju ruangan sebelum acara dimulai, seseorang menyilang di depan jalanku.
Ivanovich Lawrean. Pria yang sama.
Lagi untuk kesekian kalinya.
Deg!
Pandangan kami bertemu. Untuk sebuah alasan abstrak yang wujudnya hingga kini masih berdasar terka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar