Mei 12, 2013

SENYATA ITU


Aku mencintainya karena Allah, katanya sambil menangis sesenggukan di hadapanku.

Apa?
Aku juga seorang pencinta, dan aku marah mendengarnya. Kau tidak pantas mengatasnamakan cintamu denganNya. Tahukah kenapa? Maka dengarkan aku bercerita hingga akhir, sembari kau mereka-reka.

Dan aku juga yakin dia mencintaiku karena Allah, Han. Aku menatapnya dalam-dalam. Sungguh, Tuhan, aku mencintai gadis lugu di depanku ini. Seorang sahabat, yang kepadanya terkadang aku bersikap terlalu protektif. Dan kini, di bawah gumpalan awan pengisi luasnya langit yang semakin temaram, ia menangisi laki-laki itu.

Tahu dari mana ia mencintaimu karena Allah? Pandanganku berkata.

Iya, dia pernah bilang .. Kalimatnya terpenggal oleh sendu.

Lalu kamu percaya?

Iya, aku percaya.


Aku menghela nafas panjang dan memeluk tubuhnya yang terguncang hebat. Penyakit asmanya bisa kambuh kapan saja dan itu membuatku khawatir.

Kau tahu tidak, sayangku? Sebenarnya aku geram. Siapakah ia yang katanya mencintaimu karena Allah tega menyiksa perasaanmu seperti ini? Siapakah ia yang katanya menyayangimu karena Allah tega menjamah jiwa dan ragamu tanpa ikatan yang halal? Siapakah ia yang kau cintai karena Allah itu? Ia telah membuatmu berduka dan lupa segalanya hanya karena tidak ingin kehilangan dia, sementara ia membuatmu kehilangan Allah.

Sebab itu aku tidak ingin jauh darinya, Han. Tidak ingin. Biar, biar semesta alam memusuhiku, biar aku dihukum, biar saja. Aku hanya ingin satu hal. Dia. Ia menyeka sudut-sudut matanya dengan ujung jilbab hitam yang lusuh. Terpakai sudah segala jenuh untuk menghapus keluh hati sahabatku.

Cinta memang sering terlalu angkuh dan membutakan mata hati pemiliknya. Ia bisa saja menyihir segenap inderamu hingga telinga tidak lagi tajam mendengar suara selain suaranya. Hingga ingkarlah dirimu dari segala perintah, kecuali dari ia yang telah menundukkanmu.
Persis itulah yang terjadi pada suaraku saat itu, Kawan. Baginya, mungkin suaraku hanya seperti bising jangkrik tengah malam, atau kicauan burung saat menyambut pagi. Hanya penyemarak alam yang dengan cepat berlalu. Atau bahkan, jikapun kata-kataku bisa menyentuh relungnya dengan sebuah kejutan makna, kesanku hanya akan seperti halilintar. Sesaat menggelegar, menggetarkan. Akan tetapi, tidak lebih dari beberapa detik suaranya kemudian hilang tak berjejak.

Aku saat itu tidak lebih alim, tidak lebih suci darinya. Masih tertatih belajar menata perasaan. Meraba-raba bergerak menuju cahayaNya. Jadi, jika kau bertanya bagaimana seharusnya cinta karena Allah itu, maka jangan heran jika aku gagap tak kuasa menjawab. Lebih baik diam menutup mulut dengan rapat.



Waktu berlalu, tahun-tahun berganti angka. Sampailah kita di akhir Maret, yang menyambut datangnya April. Lima tahun sejak isak sahabatku mengering dalam kenangan.

Sudah sebulan kita bersama, kau ingat? Tingkahmu, tawamu, candamu, mereka seperti candu. Entah jenis apa, yang jelas kau membuatku menjadi hiperbolis. Lebih-lebih melankolis. Seperti pemain sajak, yang bahagia di tengah tarian kata dan metafora yang bersanding di panggung-panggung makna. Dan dengan anggunnya, kerlingan mereka menyulapku menjadi penyair sesungguhnya.
Aku tidak pernah minta, hanya saja kau datang tiba-tiba. Mengejutkanku dengan auramu. Dengan sosokmu yang sederhana, datang menyerahkan sepotong hati yang terbalut cinta. Katamu, itu punyaku.
Dan memang begitu. Cinta kenyataannya sungguh tidak punya sopan santun. Datang tanpa permisi, dan tidak sedikit yang pergi menyisakan luka.
Ada banyak hal yang membuatku sungguh-sungguh mencintaimu. Apa kau ingin tahu? Biar kusebutkan. Jangan menyelaku untuk berkomentar atau menyanggah, nanti aku lupa.

Aku menyukai tegasnya sikapmu dalam memilih.
Aku menyukai sorot matamu yang dalam ketika menatapku.
Aku menyukai caramu memercayaiku, lebih dari yang kukira.
Aku menyukai caramu meminta kejujuranku.
Aku menyukai caramu memberiku kesempatan berbicara, sebelum kau akhirnya memutuskan langkah.
Aku menyukai caramu menasihatiku, yang lembut tapi berwibawa.
Aku menyukai jiwamu yang optimis, pasrahmu pada Allah. Bahwa atas segalanya, Allah pasti memberikan jalan keluar.
Aku menyukai kalimat-kalimatmu, yang mengingatkanku bahwa: jangan pernah mencintai apapun lebih dari cintamu pada Allah
Aku menyukai lapangnya hatimu saat tertawa dan ditertawakan.
Aku menyukai binar di wajahmu ketika kau bercerita tentang hal-hal yang kaupelajari
Aku menyukai tegarnya kau dalam menghadapi setiap cobaan di hidupmu.
Aku menyukai caramu membangunkanku di suatu pagi. Yang menunjukkan kau peduli tingkat tinggi.
Aku menyukai bacaan Qur’anmu yang kudengar setiap habis maghrib.
Aku menyukai caramu menjagaku. Dalam doa di setiap sujud. Dan aku berterima kasih atasnya.
Aku menyukai caramu memastikan aku baik-baik saja. Memastikan ada seseorang yang bisa memelukku ketika aku merasa sendirian. Sebelum kau bisa melakukannya sendiri, katamu.
Aku menyukai caramu menegurku. Mengena, tanpa menyakiti.
Aku menyukai gayamu yang sederhana, pandanganmu tentang Islam, dan visi-misi hidupmu untuk menaklukkan dunia.
Aku menyukai pandanganmu tentang Muhammad. Bahwa kau menjadikannya teladan, dan keinginanmu untuk mencontohnya dengan sempurna.
Aku menyukai dan betul-betul menghargai keinginanmu untuk menjadikan cintamu seperti cinta Ali dan Fatimah.
Tapi aku membenci caramu membuatku merindu akan semua hal itu.


Malam ini sungguh, jiwaku sesak. Air mataku jatuh dan yang dapat kuingat hanya tentangNya.
Bahwa aku sudah menghabiskan malam demi malam untuk bersamamu. Ketika di saat yang sama, aku seharusnya bisa lebih mengingatNya.
Bahwa aku telah menggadaikan mataku atas nama cinta untuk dapat melihatmu dan menyentuh dalamnya perasaan lewat tatapanmu.
Bahwa aku telah membuatNya marah dan cemburu sehingga kini Ia menjauh dariku. Dan aku merasa begitu lelah. Lelah untuk membuatNya jauh lebih murka.

Lalu dengan tekad yang bulat dan hati yang tenang, aku menyerahkan segenap perasaan untukmu pada Zat yang kuasaNya mengatur seluruh alam. Yang kuasaNya mampu menggenggam dan membolak-balikkan hati. Yang kuasaNya meliputi seluruh kehidupan: lampau, kini, dan masa depan.
Maka kutitipkan sepotong hati bertuliskan namamu malam itu. Dengan air mata ikhlas tulusku sebagai pengantarnya. Aku, untuk pertama kalinya, tidak takut untuk kehilangan cinta.



Jadi, sudahkah kau temukan jawabnya, Kawan? Dua kisah itu bercerita tentang perbedaan. Antara yang hakiki dan yang semu. Semua cinta adalah atas izinNya, tapi sedikit saja yang hadir karenaNya.
Senyata itu, sejelas itu mereka berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar