Juli 02, 2013

AKU RINDU RAMADHAN, LEBIH-LEBIH KALA SEDANG BERSAMA SYA’BAN



Aku rindu Ramadhan.
Cukupkah jika hanya itu bekalmu dalam menyambut Ramadhan? Bulan suci penuh berkah yang padanya Allah turunkan kemuliaan dan rahmat bagi hamba-hamba yang bersungguh-sungguh mencari ridhaNya. Di dalamnya terdapat malam-malam yang penuh keutamaan, yang syahdu, yang tenang, dan damai. Dan di antara malam-malam yang tiga puluh itu, turunlah Qur’an. Kitab rujukan sistem kehidupan seorang muslim, baik kala sulit dan sakit mendera atau saat berlimpah kebahagiaan. Ya, ialah malam nuzulul Qur’an. Padanya Allah menyampaikan firmanNya melalui abdiNya, Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam, Rasul yang tidak bisa baca tulis. Akan tetapi melalui lisannya yang terjaga, Al-Qur’an sampai padamu. Padamu, yang belum tentu, tidak pasti terjamin akan berada di barisan pengikutnya. Padamu, yang masih berusaha tertatih-tatih mencari cahaya Allah beserta keridhaanNya.
Dan di antara tiga puluh malam itu, sepuluh malam di penghujungnya merupakan sepuluh malam penuh keberkahan. Yang salah satunya adalah lailatul qadr, momentum penghambaan diri pada Allah, momentum di mana seluruh urusan untuk setahun ke depan ditentukan oleh Sang Maha Kuasa atas segala urusan. Juga ialah malam di mana ribuan malaikat turun ke bumi dan mengagungkan asmaNya. Sayap-sayap mereka terbentang mendoakan manusia-manusia yang bersungguh-sungguh dalam kebajikan. Adakah kamu menjadi bagian dari manusia beruntung yang doanya diaminkan makhluk Allah yang paling taat?

Aku rindu Ramadhan.
Cukupkah hanya dengan menyatakan perasaan yang memang seharusnya dimiliki seorang muslim? Rindu, ia tidak bermakna apapun kala perbuatan tangan dan kaki hanya diam. Rindu, hanya akan seperti gelas kosong yang dipukul sendok kala ia hanya terbersit di lisan apalagi pikiran. Suaranya nyaring, tapi rapuh dan kemungkinan mudah pecah.
Rindu, seharusnya ia dapat menggetarkan hati pemiliknya. Begitu hebatnya sehingga serta-merta tangan akan sendirinya terbuka untuk merengkuh dan kaki akan sendirinya berlari untuk menyongsong. Dengan segenap daya, usaha untuk tidak begitu saja membiarkan Ramadhan bergulir dan pergi.

Karena apakah? Ketika ia begitu saja pergi dan umat muslim sedunia menyambut kedatangan Syawal yang penuh perayaan secara istiadat, maka merugilah mereka. Merugilah mereka yang lupa kemuliaan Ramadhan, yang lupa bahwa Ramadhan selain merupakan syahrus shaum, juga merupakan syahrul maghfirah dan syahrut tarbiyah. Ya, bulan pengampunan dan pendidikan. Bulan di mana pintu ampunan dibuka seluas-luasnya dan setan dibelenggu. Jadi, jika kamu masih tidak sungguh-sungguh, masih suka lalai, masih suka malas, suka maksiat, setankah yang lepas dari belenggu Allah untuk membisikimu atau jangan-jangan karaktermu sudah menyerupai mereka? Na’udzubillahi min dzaalik.
Sehingga puasamu sebulan itu hanya menyisakan lapar dan dahaga semata. Dan sungguh merugilah manusia, seperti yang Rasul gambarkan melalui sabdanya.
“Banyak orang berpuasa yang tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali lapar. Dan banyak orang shalat malam, tidak mendapat apa-apa dari shalatnya kecuali begadang.”
- HR. Abu Daud dan Ibn Majah
Hadist lain meriwayatkan bahwa Allah tidak membutuhkan dan pastinya tidak akan mengganjar puasa orang-orang yang tidak sungguh-sungguh menahan diri ketika puasa.
“Barangsiapa tidak meninggalkan kata-kata dusta (dalam berpuasa) dan tetap melakukannya, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya.”
- HR. Bukhari

Aku rindu Ramadhan.
Ya, rindu. Tapi kerinduan sejatinya harus disandingkan juga dengan kesungguhan mempersiapkan diri untuk menjalani pendidikan dari Rabb Pencipta alam semesta.
Bertemu Ramadhan kiranya bisa diibaratkan seperti saat dua calon mempelai menjalani hari-hari sebelum akad diucapkan dengan segenap jiwa dan raga. Tentunya butuh persiapan bukan? Mulai dari persiapan jiwa dan fisik. Mulai dari penyediaan mahar hingga persiapan resepsi. Matangnya tetek-bengek persiapan adat istiadat itu dapat menjadi parameter kesungguhan dua insan tersebut menghalalkan hubungan cinta di hadapan Allah.
Begitu juga Ramadhan. Dan kesungguhan itu dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. Tiga bulan sebelumnya, saat Rajab, dan saat Sya’ban.
Ya, Sya’ban. Bulan yang paling sering terlalaikan. Bulan yang bisa menjadi momentum persiapan yang akan memenangkan jihad seorang Muslim di Ramadhan, tetapi juga bisa menjadi momentum kefuturan yang melenakan seorang hamba memasuki Ramadhan dengan jiwa dan raga yang lemah. Dua pilihan itu, kamu pilih yang mana? Tidak ada paksaan untuk memilihnya, tapi jika seandainya kamu memilih pilihan pertama, semoga engkau termasuk ke dalam golongan hamba yang Allah ridhai karena kesungguhanmu memeluk bulan seribu bulan.

Aku rindu Ramadhan.
Lalu apa sajakah hal yang perlu disiapkan sebagai amunisi? Atau sebagai perbekalan jika kaum kabilah yang berkata. Apa sajakah? Kini di penghujung Sya’ban dan ketibaan Ramadhan, amunisimu sudah berapa banyak? Fisikmu sudah berapa siap? Kiranya haruslah kuat. Sehingga tidak ada lagi alasan-alasan penyebab letihnya ragamu saat menjalani puasa. Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau saja bisa berperang dan menang saat pertempuran Badr. Karena memang, sungguh demi Allah, Ramadhan adalah juga bulan jihad dan bulan kemenangan.
Lalu bagaimana shalat wajibmu? Masih tertundakah? Jika ya, tidak heran jika Ramadhan nanti engkau masih lalai. Lebih sering engkau laksanakan berjama’ah atau sendiri? Sungguh, bahkan pahala jama’ah yang 27 kali lipat di bulan biasa pun kau remehkan, jangan-jangan nanti kau terbiasa juga meremehkan shalat berjama’ah yang pahalanya dilipatgandakan 70 kali lipat.
Bagaimana dengan sunnahmu? Bagaimana tahajjud? Dhuha? Qabliyah? Ba’diyah?
Rutinkah? Termasuk shaum sunnahmu?
Bagaimana mungkin jika tubuhmu tidak pernah latihan puasa sementara nanti di Ramadhan sebulan penuh harus menjalankannya. Tidak heran jika tubuhmu lemas, letih, lesu, lunglai. Dan jika sudah begitu, tanyakanlah pada dirimu ke mana saja hari-hari berlalu?
Bagaimana bacaan Qur’anmu? Semestinya kata-kata belum lancar, belum bisa, masih terbata-bata bukanlah lagi pantas dijadikan alasan. Lebih dari tiga bulan Allah menyediakan waktu untukmu mempelajari kalamNya. Kemana saja kau selama ini? Tersesat dalam lingkaran kemaksiatan? Begitukah?
Dan bagaimana sedekahmu? Sedekah yang pada Ramadhan Allah mengganjarnya dengan 700 kali lipat lebih dari biasanya. Subhanallah, betapa pemurahnya Rabbmu! Sementara engkau masih saja nyinyir pada yatim dan fakir.

Maka pertanyakanlah! Pertanyakan untuk apa lisanmu berkata:
Aku rindu Ramadhan, lebih-lebih kala bersama Sya’ban.
Karena persoalan kemenangan adalah bagaimana menjadikan apa-apa yang dicintai Allah sebagai suatu kebiasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar