April 29, 2013

"Hai kau, hati-hati ya."


Rembulan kemarin malam begitu terang. Namun aku tetap tidak mampu melihatmu dalam kegelapan. Mengapakah?
Rembulan kemarin malam begitu terang. Dan kehadiranmu menguatkan cahayanya. Namun kau sungguh membuat buta.



Seketika aku merasa begitu anggun. Dan damai. Dan sempurna.
Seperti saat ketika angin menghembuskan ketentraman di hati mereka yang gerah dalam amarah.
Kau mampu menggerakkan malam untuk akhirnya membiusku, menyisakan sorot mata yang beku, raga yang kaku, dan lisan yang gagu. Namun jiwaku hidup, lebih hidup dari kuncup pertama pohon-pohon maple saat mentari menyapa lewat cairnya sisa-sisa salju. Jiwaku bebas, lebih bebas dari kupu-kupu yang memesona di taman-taman surga. Bebas. Dan membuat kebas.

Usahlah kau menyapaku. Dengannya aku tersiksa, kata-kata sengaja berdiam di sudut penjara tak bersipir. Sesekali keluar dalam bisik untuk menghirup aroma kasih saat betul-betul keruh. Tapi apakah kau mendengarnya? Karena aku menjadi betul-betul bisu sejak mencintamu.

Di dalam sini, rasanya hangat.

Malam itu begitu tenang, bulan jelas-jelas tampak. Lewat senyum malu aku mensyukuri keberadaannya. Juga keberadaanmu yang berkata,
"Hai kau, hati-hati ya."

Lalu aku kembali tak sempurna. Tanpa kau, malam kembali biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar