November 02, 2012

Waktu kecil dulu ..


Aku bisa bebas menyapa langit. Kapanpun aku mau. Membayangkan di balik birunya langit ada apa? Ia sempurna biru, berawan, kelabu .. Tapi berdasar hitam. Bukankah gelap di angkasa sana? Warna-warna itu .. bukankah hanya hiasan belaka?
Dan ketika ada pelangi, rasanya takjub.
Mengapa bisa ada benda seindah itu?
Aku suka warna kuning, dan yang paling mencolok dari pelangi adalah ia. Itu sebabnya aku suka memandanginya.
Pelangi itu seperti jembatan. Melengkung sempurna. Ia jembatan yang sungguh besar karena bahkan aku tidak pernah bisa melihat ujungnya. Entahlah, mungkin ujungnya itu berada di Eropa sana. Atau surga? Yah, bagiku Eropa itu surga di dunia mimpiku.
Ah, Eropa. Aku dulu selalu ingin ke sana. Sekarang juga masih ingin, tapi tidak semenggebu impian lugu kekanakan. Aku ingin melihat daun-daun yang menua, menjingga, untuk gugur kemudian. Jika aku bisa, aku akan menantinya setiap hari di pinggir jendela selama musim itu. Atau, aku akan duduk di taman kota, ditemani buku bacaan kesukaanku sepanjang masa. Pengarangnya Enid Blyton. Dia menginisiasi peletakan batu pertama di istana mimpiku. Aku tidak akan berhenti membaca hingga daun terakhir di bumi jatuh.
Aku juga ingin bermain salju. Salju bagiku .. ia menghangatkan. Karena hangat tidak pernah ada tanpa ada dingin. Begitu juga dingin.
Kau tidak pernah ada, jika aku tidak ada bukan?
Mengerti maksudku? Sesuatu tidak akan benar-benar ada jika tak ada pembandingnya. Tidak ada lawannya.

Aku rindu masa kecilku, saat-saat ketika aku menerima arti kehidupan dengan begitu sederhana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar