November 06, 2013

SEPI


Aku baru saja membaca Kokologi, buku karangan orang Jepang yang berisi permainan-permainan kehidupan. Setiap jawaban dapat menggambarkan karakter serta pandangan-pandangan hidup yang kita punya.
Aku suka sekali bacaan semacam ini.

Jadi, aku dan ketiga teman kampusku menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu di sela-sela mengerjakan laporan praktikum Mikrobiologi. Lantai dasar departemenku lenggang, dan tampaknya memang cuma kami berempat yang berisik.
Pertanyaannya adalah:
Bayangkan bahwa kamu kembali ke masa lalu, saat kepolosan masih menghiasi wajahmu .. Saat kau tidak peduli waktu terus bermain sampai lelah, saat alam masih bersahabat .. Saat setiap pagi matahari bersinar lembut menyambut pagimu dan awan menjadi pelindung saat berlarian di lapangan. Suatu hari, kau ingin makan permen. Untuk itu, kau dengan langkah riang bersenandung mampir sebentar ke sebuah toko permen di ujung jalan. Ada banyak permen warna-warni di sana, berbagai jenis permen: lollipop, permen karet, dan lain-lain. Di antara semua permen itu, permen mana yang kaupilih? Dalam kasusku, aku menjawab: permen karet berwarna-warni yang berbentuk bulat dalam sebuah toples besar. Alasannya? Karena aku suka warnanya.
Sambil menunggu sang penjaga toko mengambilkan pesananmu, kaulihat ada sekelompok anak di luar toko yang sepertinya akan masuk. Berapa jumlah anak yang masuk ke dalam toko? Aku menjawab: lima.
Ternyata penjaga toko berbaik hati memberimu permen bonus. Berapa jumlah permen bonus yang diberikan padamu? Satu? Dua? Jawabanku: satu.
Kemudian ternyata, skenario permainan ini menyatakan bahwa kau membeli permen-permen itu sebagai hadiah untuk seseorang, siapakah dia? Sebagian orang mungkin menjawab: sahabat, adik, teman spesial .. Tapi aku menjawab: Aku beli permen ini sejak awal untuk diriku, untuk diriku! Bukan orang lain, jadi aku tidak akan memberikannya pada siapapun.
Nah, itulah jawabanku.
Hal yang paling mengejutkan adalah pernyataan dari analisis terhadap semua jawabanku yang menunjukkan betapa aku amat sangat tidak tergantung pada orang lain. Itu, sungguh, sangat benar. Aku sampai geleng-geleng kepala.

“Anda lebih suka kehidupan yang memiliki sedikit pegangan, meminta sedikit dari isi dunia dan mengharapkan hal yang sama sebagai balasannya. Pendekatan kesendirian itu berarti Anda mungkin tidak harus berbagi dengan orang lain, tapi itu juga berarti Anda tidak akan pernah memiliki orang lain untuk bisa saling berbagi.”

Tahu tidak? Kata-kata itu benar-benar menusukku. Seperti ada angin musim dingin yang kemudian masuk ke relung-relung jiwa. Mengoyak benteng pertahanan. Mempertegas gaung kekosongan. Memperjelas keberadaan sepi. Aku, untuk kesekian ratus kalinya merasa sendirian.
Di satu sisi, aku takut untuk merasakan perasaan memiliki orang lain. Di sisi lain, aku takut jika aku memang benar-benar sendirian.
Seringnya, aku menikmati itu. Bahkan keinginanku sejak kecil adalah tinggal di suatu tempat terpencil yang dipeluk oleh kedamaian alam. Aku masih punya harapan untuk bisa menerima kebisingan dunia, tapi aku semakin bertanya-tanya apakah kebisingan itu benar-benar menerima diamku.

Dan kurasa jawabannya tidak, karena nyatanya, aku tetap merasa berbeda.
Sebagian orang mungkin berpikir bahwa mereka sudah dekat denganku. Tapi, tidak, sesungguhnya. Aku punya banyak rahasia dan perasaan yang kusimpan rapat-rapat sampai berdebu, namun tidak pernah usang. Dan tidak ada satu orangpun yang benar-benar aku percaya untuk melihat aku sebenarnya.

Terkait dengan itu, aku jadi tidak yakin apakah kelak aku punya pendamping hidup yang menerima aku seutuhnya. Jika memang suatu saat nanti ternyata Tuhan berbaik hati mengirimkan, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan: haruskah aku membawa diriku keluar? Atau aku yang membiarkan ia masuk ke dalam? Ke dalam dunia di mana cuma ada aku dan orang itu. Terbingkai oleh cinta yang damai. Terasing dari keramaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar