Ya, aku memang begini.
Memang bukan tipe wanita penurut, baik-baik, dan sempurna.
Aku jauh dari itu dan salahmu datang padaku.
Benci.
Yang ada itu jadinya.
Aku membencimu. Jelas?
Aku menyukai tegasnya sikapmu dalam memilih.
Aku menyukai sorot matamu yang dalam ketika menatapku.
Aku menyukai caramu memercayaiku, lebih dari yang kukira.
Aku menyukai caramu meminta kejujuranku.
Aku menyukai caramu memberiku kesempatan berbicara, sebelum kau akhirnya memutuskan langkah.
Aku menyukai caramu menasihatiku, yang lembut tapi berwibawa.
Aku menyukai jiwamu yang optimis, pasrahmu pada Allah. Bahwa atas segalanya, Allah pasti memberikan jalan keluar.
Aku menyukai kalimat-kalimatmu, yang mengingatkanku bahwa: jangan pernah mencintai apapun lebih dari cintamu pada Allah
Aku menyukai lapangnya hatimu saat tertawa dan ditertawakan.
Aku menyukai binar di wajahmu ketika kau bercerita tentang hal-hal yang kaupelajari
Aku menyukai tegarnya kau dalam menghadapi setiap cobaan di hidupmu.
Aku menyukai caramu membangunkanku di suatu pagi. Yang menunjukkan kau peduli tingkat tinggi.
Aku menyukai bacaan Qur’anmu yang kudengar setiap habis maghrib.
Aku menyukai caramu menjagaku. Dalam doa di setiap sujud. Dan aku berterima kasih atasnya.
Aku menyukai caramu memastikan aku baik-baik saja. Memastikan ada seseorang yang bisa memelukku ketika aku merasa sendirian. Sebelum kau bisa melakukannya sendiri, katamu.
Aku menyukai caramu menegurku. Mengena, tanpa menyakiti.
Aku menyukai gayamu yang sederhana, pandanganmu tentang Islam, dan visi-misi hidupmu untuk menaklukkan dunia.
Aku menyukai pandanganmu tentang Muhammad. Bahwa kau menjadikannya teladan, dan keinginanmu untuk mencontohnya dengan sempurna.
Aku menyukai dan betul-betul menghargai keinginanmu untuk menjadikan cintamu seperti cinta Ali dan Fatimah.
Tapi aku membenci caramu membuatku merindu akan semua hal itu.
“Aku melihat dan memerhatikanmu. Ada gaya tarik di senyum dan geliatmu.
Kau cerdas, kau penuh semangat.
Semua pria bisa saja jatuh hati.
Ada wanita yang jauh dari itu membencimu. Iri pada sosokmu.
Entah kapan bisa menjadi sepertimu. Yang sepertinya tanpa beban.
Aku mengenalmu. Berbulan-bulan lalu, di suatu November. Kala itu kau masih terlihat biasa saja. Tidak lebih rapi dariku. Tidak lebih idealis.
Kau di mataku, masih biasa saja.
Kini penghujung Maret dan aku risau. Cemburu padamu. Kebas melihat sikapmu. Gerah, bahwa kau telah menawan seseorang sebelum aku.
Kau mungkin masih ingat, tapi juga tidak.
Aku memang tidak cukup berharga untuk dikenang. Dan tidak pula cukup bernilai untuk dikenal. Tidak seperti kau. Yang sepertinya semua orang ingin di dekatmu.
Jika kau matahari baginya,
Aku ini hanya satu di antara kumpulan asteroid dekat Jupiter itu.
Satu di antara kepingan planet mati.
Tanpa cahaya, apalagi gravitasi.
Jutaan kali lebih kecil, lebih tak berdaya, lebih tak bermakna.
Kau menoreh suatu luka, yang jika tersentuh untuk diobati
Malah terbuka menganga
Sebab namamu di hatinya, sulit terlupakan
Penyebab ringkihnya aku dan rentanya namaku
Aku berpijak pada hati yang dipesonakan auramu
Sehingga sisa-sisa cahayaku menjadi sungguh remang
Muram seperti durjana malam yang menghitam kelam
Hai kau, kenalkan,
Aku ini wanita tanpa wajah. Datar dan tak hidup. Seperti padang pasir di tanah Afrika. Tempat kelahiran orang-orang yang ditakdirkan hidup terlunta-lunta.
Aku ini wanita tanpa kehormatan. Semua orang menatapku layaknya sampah. Dan tempatku ... hanya di sudut ini. Pojok di mana pandanganku melesat padamu, menancap fisikmu dalam bayang kasat mata imajinasiku. Tempatku ingin menerkammu. Dan mati bersama perasaan buas lagi puas.
Maka kenalkan, aku Seizu. Dalam bahasa ibuku, artinya Sang Pencemburu.”